Tarik kuat tali kekangku, pacu aku
Agar kelak aku menjadi kuda unggulan
Yang berlari kencang, di medan perang
Kegagalan.
Menurut pemahaman diri yang
muncul pertama kali saat kata ‘kegagalan’ itu didengar, Didefinisikan sebagai
momok menakutkan, bentuk hasil yang akan selalu di tandai dengan kekecewaan,
tidak sedikit orang yang terkadang takut untuk mencoba sesuatu karena takut
akan kegagalan. Meski kegagalan itu belum terlihat didepan mata, tercium baunya
saja pun belum, namun sudah enggan duluan.
Siang itu, entah pukul berapa,
kira-kira setelah adzan dzuhur berkumandang mata kuliah yang ketiga akan
dimulai sekitar tiga puluh menit lagi. Belum banyak Mahasiswa yang kembali dari
pertemuan indahnya dengan Yang Maha Pengasih. Setelah selesai sholat, aku
berniat meneruskan membaca novel yang masih terputus pas bagian seru-serunya,
Mengincar meja kosong dekat prodi di depan sana, Tapi ternyata meja dan kursi
panjang itu nggak sepenuhnya kosong, Riana. Teman satu angkatanku, Terlihat
sedang membuka ponsel flip miliknya. Aku hendak menghampirinya sebelum ia
melepas hembusan nafas panjang tidak lama sesaat setelah ia menekan tuts tuts
pada ponsel yang ia genggam, Ia mengeluh? Perubahan wajahnya drastis, penuh
kekecewaan.
“Riana!” Aku menepuk pundaknya,
seraya mentransfer semangat yang sedang hilang dari dalam dirinya
“Jihan?” Ia menoleh padaku
sebentar, dan kembali menolehkan pandanganya pada layar ponsel dengan lesu,
sesaat ia menutup layar ponselnya, dan kembali menarik nafas pendek,
membuangnya dengan malas.
“Kenapa, Rin? Lagi bete,ya?” Aku
masih menerka-nerka, apa yang terjadi dengan wanita manis berambut kuncir kuda
ini.
Riana menggeleng, “Aku gagal
lagi”
Aku mengkerutkan alis, “Gagal?”
Riana mengangguk. Aku teringat akan hobinya yang amat sangat gemar menulis. Ia
ingin sekali menerbitkan sebuah buku.
“Buku kamu?"
Riana mengangguk, melepas
kacamata tak berbingkai yang menegaskan kesan cerdas yang terdapat di dalam
dirinya.
“Ini udah yang kelima kalinya,
Naskahku ditolak oleh penerbit. Kalau udah gini, aku harus mulai dari awal
lagi” tandasnya cepat.
“Lho, kenapa nggak coba kirim ke
penerbit lain dulu?”
“Ah aku udah capek”
Entah apa yang merasuki diriku,
aku pernah merasakan hal seperti ini, kegagalan. Kegagalan itu pernah hadir
padaku, dan sampai kini, aku pun masih berusaha bangkit darinya. Bahkan
sepertinya kegagalan bisa datang menemui siapa saja.
“Aku capek, apa aku emang nggak
boleh jadi penulis ya, Ji?” Aku sedikit termangu, nggak pernah aku lihat Riana
seputus asa ini, pasalnya ia selalu ceria, ia gemar menulis dan mempublikasikan
di media socialnya, dan kerap kali aku tersentuh ataupun tertampar dengan hanya
membaca tulisanya, tak kusangka penulis yang kerap kali membuat karya tulisan
yang sering membolak balikan hati pembacanya ini bisa mengalami hal yang begini
juga.
“Aku udah coba perbaiki lagi
naskah novelku, udah aku minta banyak orang untuk berkomentar, komentar kritis
pun aku tanggapi dengan besar hati, aku sadar aku masih banyak belajar, lima
kali loh, Ji, lima. Lama-lama aku capek juga” lantas ia menatapku, dan
menunjukan lima jemari tangan kanan-nya padaku.
“Terus
apa rencanamu Rin?” Tanyaku
“Apa
aku berhenti nulis aja kali ya?, fokus aja lah sama kuliah aku, lagian aku ini
kan kuliah jurusan Gizi, yaudahlah terima aja aku ini anak gizi, nggak usah
coba-coba di bidang sastra juga” Aku memutar bola mata sebentar, lalu kembali menatap
Riana
“Berhenti? Tapi Rin kamu kan udah berusaha..”
“Jihan, Orang-orang nggak akan
pernah peduli dengan usaha, Mereka hanya peduli pada hasilnya”
Oh itu benar. Tidak salah. Memang
urusan ‘berusaha’ adalah urusan kita pribadi dengan cita-cita itu sendiri.
Nggak akan ada yang peduli dengan cita-citamu kecuali dirimu sendiri.
“Atau aku yang terlalu maksa ya?
aku sok-sok an pingin nulis buku, padahal aku nggak bakat nulis” Riana masih
menatapku, melihat mimik matanya yang semakin terlihat kusut, seperti seragam
ayah yang lupa di setrika oleh ibu, aku pun tersenyum.
“Oh,
kalau gitu semua tulisan-tulisan kamu buat aku aja, boleh?” Tanyaku padanya,
Riana pun sontak kaget dan mengkerutkan alisnya
“Buat?
Mau kamu apain naskah-naskah ku?”
“Hmm..
mau aku kirim ke semua penerbit, biar bisa jadi buku”
“Lho
tapi, kan?” Riana mungkin kini sedang bergelut, bergelut dengan hati-nya
sendiri
“Kenapa?”
“Tapi kan naskah-naskahku udah
gagal, ngapain kamu coba kirim lagi?” Tungkas Riana
“Yaa, mungkin bakalan aku perbaiki,
atau aku ubah gaya penulisannya dan menambahkan kreasi kreasi baru kedalamnya,
mungkin aja kan kalau udah di perbaiki nanti bisa di terima dan dijadiin buku”
“T...tapi kan..”
Dapat. Wahai Riana, kamu memang
masih lah seorang penulis, yang mencintai tulisan-tulisanmu sendiri.
“Tapi apa lagi? Tapi Itu naskah
nya punya kamu?”
Riana diam seribu bahasa, mungkin
bingung memilih bicara pakai bahasa yang mana, bahasa kalbu kah?
“Riana, Kamu udah berusaha keras,
dan itu bagus. Jangan kamu kurangin usahanya, justru harusnya kamu tambahin”
Belum sempat Riana menimpali tapi aku nggak kalah cepat dalam debat
“Emang bener apa kata kamu,
Orang-orang nggak akan peduli dengan usaha yang dilakukan. Orang lain hanya
akan peduli dengan hasilnya, Tapi kenapa kamu harus pedulikan orang-orang?,
biarlah kamu dan cita-cita kamu itu jadi urusan kamu berdua bersama sang usaha.
Nggak akan ada yang peduli dengan cita-citamu, apa visi misimu, selain dirimu
sendiri, jadi yang bisa mewujudkan mimpi-mimpimu, memang cuma kamu, kalau kamu
nggak perjuangin, siapa yang bakalan perjuangin, Rin?”
Pandangan mata Riana berubah
drastis, kosong. Bagai tersengat tegangan listrik tinggi, ia nampak menahan
nafasnya sebentar sebelum berkedip dan kembali ke keadaan semula, Terlihat mata
itu terdapat lapis air jernih disana, berkaca-kaca.
“Rin, Nggak akan ada yang peduli
dengan usahamu, tapi kamu juga harus tahu, Usaha nggak akan pernah mengkhianati
hasil”
Air jernih nan dingin itu jatuh,
melesat cepat, mengalir di antara pipi putih pucatnya, tersedat sebentar di
bibir pink ranum miliknya, meluncur ke dagu dan terhisap gravitasi bertabrakan
dengan bumi.
“Gagal itu tanda Allah
menyayangimu, Ia ingin menarik kuat tali kekangmu, Ia ingin memacu kamu, dan
kemudian menjadikanmu kuda unggulan, yang berlari kencang di medan perang,
Riana”
Air mata itu sukses menguasai Sahabatku,
Riana. Namun terpatri jelas senyum indah yang tersemat disana, menandakan
kedatangan kembali sang semangat yang beberapa waktu lalu kabur meninggalkan
raga juga jiwa.
***
Kita semua pasti pernah merasakan gagal.
Entah itu gagal dalam mendapatkan nilai sempurna, ujian
matematika yang tadinya kamu udah yakin banget bakalan dapet nilai 100, tapi
tau-tau nilai kamu 9,5 dan ternyata kamu cuma salah nyontreng pilihan jawaban?
Gagal dalam pemilihan masuk perguruan tinggi negeri, Gagal
dalam pendaftaran beasiswa, gagal dalam pemilihan PNS, gagal dalam audisi
menyanyi di salah satu ajang bergengsi. Dan masih banyak kegagalan dalam hidup
ini.
Lantas setelah gagal, kamu merasa iri dengan orang-orang
yang berhasil?
Lantas setelah gagal, kamu lekas mengutuki diri dan berdalih
bahwa kamu tidak ahli dengan bidang yang kamu sukai?
Lantas setelah gagal, kamu lantas meninggalkan mimpi, yang
selama ini kamu impikan?
“Aku
kesel banget. Aku udah belajar mati-matian tapi gagal, sedangkan dia Cuma
belajar satu malem aja kok langsung keterima?”
“Nggak
adil, aku kan yang ngajarin dia main gitar, tapi kok malah dia yang keterima di
ajang bermain gitar nasional?”
Dan lain-lainya.
Apakah kita sudah lupa? Kalau kita adalah sepintar-pintar
membuat rencana untuk diri kita sendiri, membuat skenario dalam naskah cerpen
yang kita buat, tapi Allah adalah Maha Pintar, Maha Tahu dalam menentukan, Maha
Bijaksana dalam membuat rencana kehidupan kita, Allah tahu kapan indah akan
datang dan menyapa kita.
Kita nggak mau kan, menjadi orang dengan mental lemah?
Mencapai puncak tertinggi lantas lupa daratan? mendapatkan impian lantas ketika
impian itu dirampas lantas menjadi gila? Naudzubillahimindzalik.
Gagal akan selalu hadir, pada orang-orang yang berusaha.
Apabila kegagalan menghampiri kamu maka ucapkan selamat pada diri kamu sendiri,
itu artinya kamu sudah berusaha. Namun kamu harus lebih berusaha, agar gagal
lelah menghampiri, dan membuat Allah semakin yakin, bahwa kita berhak mendapatkan keberhasilan.
Bahwa kita berhak menjadi juara dengan mental juara. Bukan
sekedar juara, tetapi mental juara pun kita dapatkan.
Jangan berdoa agar di mudahkan dalam menggapai cita-cita,
itu artinya kamu hanya meminta sesuatu yang mudah-mudah kepada Allah, mudah
urusan, mudah pekerjaan, dan sebagainya. Apa itu salah? Tidak. Itu sah-sah aja,
tapi ketika kemudahan menghampiri kamu, kamu akan jauh dari mental juara.
Disaat kita berdoa pada Allah SWT pun, alangkah baiknya kita
berdoa “Ya Allah sebaik-baiknya pengatur rencana, Jadikanlah aku pribadi yang
kuat, Kuatkanlah aku dalam setiap tantangan kehidupan yang kau berikan ya
Allah”
Alangkah baiknya kita meminta “kekuatan” bukan “kemudahan”, bukan?
Kegagalan itu sapaan, sapaan untuk mereka yang berusaha,
untuk meyakinkan ya Rabb kalau kita pantas mendapatkan sesuatu yang indah suatu hari nanti.
Memang benar, Orang-orang tidak akan pernah peduli dengan
usaha yang dilakukan, orang lain hanya akan perduli dengan hasilnya.
Namun usaha, tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Tuhan,
Tarik kuat tali kekangku, pacu aku,
Agar kelak aku menjadi kuda unggulan,
Yang berlari kencang, di medan perang.
Ayo teman, kita sama sama berusaha, menyapa hangat sang
kegagalan, namun bangkit lagi dan menatap masa depan!
Regards : cicicipta
Tangerang, 25 Juni 2016
Challenge : One Day One Post with Annisun