Sunday, June 26, 2016

Aku, Dia dan Abang Bakso

Ini adalah kisah pendek, tentang aku, dia, dan abang bakso.

Sore itu aku lapar. Kayaknya yang di dalem perut udah dangdutan, udah gak sabar. Apalagi liat abang bakso yang sedang meracik bakso pesananku dan temanku, makin gak sabar.

Aku masih pakai seragam, putih hijau. Aku baru pulang sekolah, belum pulang kerumah, kebiasaan lama, kebiasaan yang dilarang orang tua tapi kadang aku lakukan juga, mampir kerumah teman sepulang sekolah.

Pasalnya disekolah tadi aku badmood total. Dan aku terlalu malas untuk menyimpan badmood ku sendirian dirumah, dikamar, menenggelamkan wajah ke bantal, dengerin musik-musik mellow dan.. ah aku lagi gak mau mengalami fase itu, fase blue, fase galau.

Abang bakso pun selesai meracik, tercium aroma kuah bakso yang menyeruak, menggelitik hidung, mengundang nafsu ingin lekas menggigit bulatan-bulatan daging bercampur mie kuning dengan kuah panas didalam mangkuk yang di genggam si abang.

"Makasih bang!"

Lekas ku ambil sendok dan garpu, dan menyantapnya lahab.
Aku suka bakso polos. Maksudnya, bakso yang tanpa tambahan apapun, bakso yang pas abang-abangnya kasih terus langsung aku makan tanpa penambahan bahan rasa apapun, nggak kayak temen disebelahku yang masih sibuk nambahin sambel, garem, dan macam-macam lainnya. Kurang garem, tambahin garem, kurang pedes, tambahin sambel, ribet. Keburu laper. Aku udah makan abis 3 sendok, temen ku masih berkutat dengan sambelnya.

"Nay, ada kak Gani tuh!"
Sikut temanku pelan menyenggol lenganku, Acara mengunyahku berhenti sejenak, mendengar empat huruf membentuk sebuah kata, sebuah kata yang tepatnya merajuk kepada sebuah nama. Nama seseorang.

Aku tidak lupa. Aku ingat dengan jelas, bahwa rumah temanku ini bersebelahan dengan dia, ya dia. Yang membuat badmoodku tercipta. Namun dia juga, yang bikin aku jadi betah main kerumah temanku. Alasan klasik kalau aku datang dengan alasan pengen belajar bareng. Ya selain mau curhat sama temanku ini, salah satu alasan terselubung adalah siapa tahu bisa berpapasan sama dia secara nggak sengaja, terus bilang "Hai" sambil lambai-lambai tangan. Dan abang bakso ini mangkal gak jauh dari rumah temanku, cuma beberapa langkah, dan pastinya gak jauh juga dari rumah Kak Gani.

"Ya terus?"
Aku lanjut mengunyah, baksonya enak, dan aku lapar.

"Yee tadi katanya bete gara-gara seharian nggak ketemu dia di sekolah"

Aku melirik sekilas, itu Kak Gani, lagi didepan teras rumahnya, menyirami bunga. Kak Gani, kakak kelasku disekolah, lebih tua satu tahun denganku. Aku suka dia. Dia pintar, rajin dan.... manis. Dia nggak kayak anak laki-laki lain yang notabene nya suka main PS dan bikin ulah sampai dipanggil ke ruangan BP. Dia pendiam, pintar, berprestasi. Kerap kali ia dipanggil kedepan untuk maju menerima penghargaan saat selesai upacara bendera, abis menang lomba lukis disini, abis menang lomba gambar disana, dimana-mana. Hebat. Dia nggak tampan seperti steven william, tapi dia ramah dan senyumnya.. Huh, kayak es teh kebanyakan gula.

"Nay nay, Kak Gani ngeliatin kamu tuh!"

Haish aku tahu aku tahu.
Aku melirik, dan Kak Gani tersenyum... Manis.

Oh abang bakso, maaf aku gak abisin baksonya. Baksomu enak, tapi tiba-tiba aku kenyang.


-------------------------


Eh boleh nanya gak? | Ehm boleh kok boleh.
Sebenernya ini tuh cerita apa, Ci? kok gak mudeng | Ini salah satu flashback masa lalu, tentang masa lalu dengan perasaan sama seperti dulu yang barusan hadir lagi. | Ha?
Abaikan.


-------------------------


Regards : cicicipta
Tangerang, 27 Juni 2016
Challenge : One Day One Post with Anissun

Friday, June 24, 2016

Kegagalan







Tarik kuat tali kekangku, pacu aku
Agar kelak aku menjadi kuda unggulan
Yang berlari kencang, di medan perang



Kegagalan.

Menurut pemahaman diri yang muncul pertama kali saat kata ‘kegagalan’ itu didengar, Didefinisikan sebagai momok menakutkan, bentuk hasil yang akan selalu di tandai dengan kekecewaan, tidak sedikit orang yang terkadang takut untuk mencoba sesuatu karena takut akan kegagalan. Meski kegagalan itu belum terlihat didepan mata, tercium baunya saja pun belum, namun sudah enggan duluan.

Siang itu, entah pukul berapa, kira-kira setelah adzan dzuhur berkumandang mata kuliah yang ketiga akan dimulai sekitar tiga puluh menit lagi. Belum banyak Mahasiswa yang kembali dari pertemuan indahnya dengan Yang Maha Pengasih. Setelah selesai sholat, aku berniat meneruskan membaca novel yang masih terputus pas bagian seru-serunya, Mengincar meja kosong dekat prodi di depan sana, Tapi ternyata meja dan kursi panjang itu nggak sepenuhnya kosong, Riana. Teman satu angkatanku, Terlihat sedang membuka ponsel flip miliknya. Aku hendak menghampirinya sebelum ia melepas hembusan nafas panjang tidak lama sesaat setelah ia menekan tuts tuts pada ponsel yang ia genggam, Ia mengeluh? Perubahan wajahnya drastis, penuh kekecewaan.

“Riana!” Aku menepuk pundaknya, seraya mentransfer semangat yang sedang hilang dari dalam dirinya

“Jihan?” Ia menoleh padaku sebentar, dan kembali menolehkan pandanganya pada layar ponsel dengan lesu, sesaat ia menutup layar ponselnya, dan kembali menarik nafas pendek, membuangnya dengan malas.

“Kenapa, Rin? Lagi bete,ya?” Aku masih menerka-nerka, apa yang terjadi dengan wanita manis berambut kuncir kuda ini.

Riana menggeleng, “Aku gagal lagi”

Aku mengkerutkan alis, “Gagal?” Riana mengangguk. Aku teringat akan hobinya yang amat sangat gemar menulis. Ia ingin sekali menerbitkan sebuah buku.

“Buku kamu?"
Riana mengangguk, melepas kacamata tak berbingkai yang menegaskan kesan cerdas yang terdapat di dalam dirinya.

“Ini udah yang kelima kalinya, Naskahku ditolak oleh penerbit. Kalau udah gini, aku harus mulai dari awal lagi” tandasnya cepat.

“Lho, kenapa nggak coba kirim ke penerbit lain dulu?”
“Ah aku udah capek”

Entah apa yang merasuki diriku, aku pernah merasakan hal seperti ini, kegagalan. Kegagalan itu pernah hadir padaku, dan sampai kini, aku pun masih berusaha bangkit darinya. Bahkan sepertinya kegagalan bisa datang menemui siapa saja.

“Aku capek, apa aku emang nggak boleh jadi penulis ya, Ji?” Aku sedikit termangu, nggak pernah aku lihat Riana seputus asa ini, pasalnya ia selalu ceria, ia gemar menulis dan mempublikasikan di media socialnya, dan kerap kali aku tersentuh ataupun tertampar dengan hanya membaca tulisanya, tak kusangka penulis yang kerap kali membuat karya tulisan yang sering membolak balikan hati pembacanya ini bisa mengalami hal yang begini juga.

“Aku udah coba perbaiki lagi naskah novelku, udah aku minta banyak orang untuk berkomentar, komentar kritis pun aku tanggapi dengan besar hati, aku sadar aku masih banyak belajar, lima kali loh, Ji, lima. Lama-lama aku capek juga” lantas ia menatapku, dan menunjukan lima jemari tangan kanan-nya padaku.

             “Terus apa rencanamu Rin?” Tanyaku
             “Apa aku berhenti nulis aja kali ya?, fokus aja lah sama kuliah aku, lagian aku ini kan kuliah jurusan Gizi, yaudahlah terima aja aku ini anak gizi, nggak usah coba-coba di bidang sastra juga” Aku memutar bola mata sebentar, lalu kembali menatap Riana

              “Berhenti? Tapi Rin kamu kan udah berusaha..”
              “Jihan, Orang-orang nggak akan pernah peduli dengan usaha, Mereka hanya peduli pada hasilnya

Oh itu benar. Tidak salah. Memang urusan ‘berusaha’ adalah urusan kita pribadi dengan cita-cita itu sendiri. Nggak akan ada yang peduli dengan cita-citamu kecuali dirimu sendiri.

“Atau aku yang terlalu maksa ya? aku sok-sok an pingin nulis buku, padahal aku nggak bakat nulis” Riana masih menatapku, melihat mimik matanya yang semakin terlihat kusut, seperti seragam ayah yang lupa di setrika oleh ibu, aku pun tersenyum.

             “Oh, kalau gitu semua tulisan-tulisan kamu buat aku aja, boleh?” Tanyaku padanya, Riana pun sontak kaget dan mengkerutkan alisnya
             “Buat? Mau kamu apain naskah-naskah ku?”
             “Hmm.. mau aku kirim ke semua penerbit, biar bisa jadi buku”
             “Lho tapi, kan?” Riana mungkin kini sedang bergelut, bergelut dengan hati-nya sendiri
             “Kenapa?”
             “Tapi kan naskah-naskahku udah gagal, ngapain kamu coba kirim lagi?” Tungkas Riana
             “Yaa, mungkin bakalan aku perbaiki, atau aku ubah gaya penulisannya dan menambahkan kreasi kreasi baru kedalamnya, mungkin aja kan kalau udah di perbaiki nanti bisa di terima dan dijadiin buku”
“T...tapi kan..”

Dapat. Wahai Riana, kamu memang masih lah seorang penulis, yang mencintai tulisan-tulisanmu sendiri.

“Tapi apa lagi? Tapi Itu naskah nya punya kamu?”
Riana diam seribu bahasa, mungkin bingung memilih bicara pakai bahasa yang mana, bahasa kalbu kah?

“Riana, Kamu udah berusaha keras, dan itu bagus. Jangan kamu kurangin usahanya, justru harusnya kamu tambahin” Belum sempat Riana menimpali tapi aku nggak kalah cepat dalam debat

“Emang bener apa kata kamu, Orang-orang nggak akan peduli dengan usaha yang dilakukan. Orang lain hanya akan peduli dengan hasilnya, Tapi kenapa kamu harus pedulikan orang-orang?, biarlah kamu dan cita-cita kamu itu jadi urusan kamu berdua bersama sang usaha. Nggak akan ada yang peduli dengan cita-citamu, apa visi misimu, selain dirimu sendiri, jadi yang bisa mewujudkan mimpi-mimpimu, memang cuma kamu, kalau kamu nggak perjuangin, siapa yang bakalan perjuangin, Rin?”

Pandangan mata Riana berubah drastis, kosong. Bagai tersengat tegangan listrik tinggi, ia nampak menahan nafasnya sebentar sebelum berkedip dan kembali ke keadaan semula, Terlihat mata itu terdapat lapis air jernih disana, berkaca-kaca.

“Rin, Nggak akan ada yang peduli dengan usahamu, tapi kamu juga harus tahu, Usaha nggak akan pernah mengkhianati hasil

Air jernih nan dingin itu jatuh, melesat cepat, mengalir di antara pipi putih pucatnya, tersedat sebentar di bibir pink ranum miliknya, meluncur ke dagu dan terhisap gravitasi bertabrakan dengan bumi.

Gagal itu tanda Allah menyayangimu, Ia ingin menarik kuat tali kekangmu, Ia ingin memacu kamu, dan kemudian menjadikanmu kuda unggulan, yang berlari kencang di medan perang, Riana”

Air mata itu sukses menguasai Sahabatku, Riana. Namun terpatri jelas senyum indah yang tersemat disana, menandakan kedatangan kembali sang semangat yang beberapa waktu lalu kabur meninggalkan raga juga jiwa.


***

Kita semua pasti pernah merasakan gagal.

Entah itu gagal dalam mendapatkan nilai sempurna, ujian matematika yang tadinya kamu udah yakin banget bakalan dapet nilai 100, tapi tau-tau nilai kamu 9,5 dan ternyata kamu cuma salah nyontreng pilihan jawaban?

Gagal dalam pemilihan masuk perguruan tinggi negeri, Gagal dalam pendaftaran beasiswa, gagal dalam pemilihan PNS, gagal dalam audisi menyanyi di salah satu ajang bergengsi. Dan masih banyak kegagalan dalam hidup ini.

Lantas setelah gagal, kamu merasa iri dengan orang-orang yang berhasil?

Lantas setelah gagal, kamu lekas mengutuki diri dan berdalih bahwa kamu tidak ahli dengan bidang yang kamu sukai?

Lantas setelah gagal, kamu lantas meninggalkan mimpi, yang selama ini kamu impikan?


              “Aku kesel banget. Aku udah belajar mati-matian tapi gagal, sedangkan dia Cuma belajar satu malem aja kok langsung keterima?”

              “Nggak adil, aku kan yang ngajarin dia main gitar, tapi kok malah dia yang keterima di ajang bermain gitar nasional?”

Dan lain-lainya.

Apakah kita sudah lupa? Kalau kita adalah sepintar-pintar membuat rencana untuk diri kita sendiri, membuat skenario dalam naskah cerpen yang kita buat, tapi Allah adalah Maha Pintar, Maha Tahu dalam menentukan, Maha Bijaksana dalam membuat rencana kehidupan kita, Allah tahu kapan indah akan datang dan menyapa kita.

Kita nggak mau kan, menjadi orang dengan mental lemah? Mencapai puncak tertinggi lantas lupa daratan? mendapatkan impian lantas ketika impian itu dirampas lantas menjadi gila? Naudzubillahimindzalik.

Gagal akan selalu hadir, pada orang-orang yang berusaha. Apabila kegagalan menghampiri kamu maka ucapkan selamat pada diri kamu sendiri, itu artinya kamu sudah berusaha. Namun kamu harus lebih berusaha, agar gagal lelah menghampiri, dan membuat Allah semakin yakin, bahwa kita berhak mendapatkan keberhasilan.

Bahwa kita berhak menjadi juara dengan mental juara. Bukan sekedar juara, tetapi mental juara pun kita dapatkan.

Jangan berdoa agar di mudahkan dalam menggapai cita-cita, itu artinya kamu hanya meminta sesuatu yang mudah-mudah kepada Allah, mudah urusan, mudah pekerjaan, dan sebagainya. Apa itu salah? Tidak. Itu sah-sah aja, tapi ketika kemudahan menghampiri kamu, kamu akan jauh dari mental juara.

Disaat kita berdoa pada Allah SWT pun, alangkah baiknya kita berdoa “Ya Allah sebaik-baiknya pengatur rencana, Jadikanlah aku pribadi yang kuat, Kuatkanlah aku dalam setiap tantangan kehidupan yang kau berikan ya Allah”

Alangkah baiknya kita meminta “kekuatan” bukan “kemudahan”, bukan?

Kegagalan itu sapaan, sapaan untuk mereka yang berusaha, untuk meyakinkan ya Rabb kalau kita pantas mendapatkan sesuatu yang indah suatu hari nanti.

Memang benar, Orang-orang tidak akan pernah peduli dengan usaha yang dilakukan, orang lain hanya akan perduli dengan hasilnya.

Namun usaha, tidak akan pernah mengkhianati hasil.



Tuhan,
Tarik kuat tali kekangku, pacu aku,
Agar kelak aku menjadi kuda unggulan,
Yang berlari kencang, di medan perang.




Ayo teman, kita sama sama berusaha, menyapa hangat sang kegagalan, namun bangkit lagi dan menatap masa depan!








Regards : cicicipta
Tangerang, 25 Juni 2016
Challenge : One Day One Post with Annisun

Thursday, June 23, 2016

Thanks To



Terimakasih kepada keadaan, keadaan yang selalu membimbingku menggapai titik yang memang aku butuhkan

Mungkin aku pernah mengeluh, akan keadaan yang tidak selalu sama dengan bayanganku

Mungkin aku pernah merasa kurang akan segala-galanya yang aku miliki.

Tapi ini adalah pemberian dari-Nya.

Bukan tanpa arti, pasti Ia telah menentukan, pasti ia telah memperkirakan, bagaimana baiknya aku, bagaimana harusnya aku diperlakukan.

Dia telah mencintaiku, Dia telah berikan aku apa yang aku butuhkan, bukan apa yang aku inginkan.


Terimakasih kepada Allah Azza Wa Jalla, yang telah berikan aku kehidupan ini. Juga menjaga cinta ini.



Regards : cicicipta
Tangerang, 22 Juni 2016
Challenge : One Day One Post with Annisun

Tuesday, June 21, 2016

Bagaimana Cara Menemukan Dia





Bagaimana caranya kita menemukan dia yang benar-benar tepat untuk kita?



Ketika cinta darinya tidak sebatas kata, namun penuh pembuktian aksi, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika Allah menjadi satu-satunya alasan kamu mencintainya, maka kamu bersama orang yang tepat.

Jika pernikahan menjadi kata sepakat, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika restu orang tua sudah masing-masing didapat, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika perjuangan menuju surga menjadi cita-cita bersama, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika sekecil apapun usahamu dihargai, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika dirimu berusaha mengubah sifat burukmu tanpa ia perlu memintamu, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika dia menjadi alasanmu tersenyum, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika pelaminan menjadi jaminan, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika masa lalumu bukan menjadi fokusnya saat ini, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika bukan materi menjadi prioritasnya, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika ia menjaga hatinya untukmu tanpa diminta, maka kamu bersama orang yang tepat.

Ketika ia menundukan matanya untuk bidadari selain kamu, maka ia bersama orang yang tepat.

Ketika ia menyebut namamu dalam setiap doanya, maka kamu bersama orang yang tepat.

Dan ketika KAMU menjadi alasanku menulis ini, maka AKU bersama orang yang tepat :)


- Brili Agung - Jangan Bodoh Mencari Jodoh




Kalau biasanya setelah break lama dan baru mulai nulis blog lagi setelah sekiaaaan lamanya ilang itu aku selalu mulai posting nanyain kabar dan niupin blog yang udah berdebu, tapi kali ini aku buka dengan satu postingan yang isinya untaian kalimat manis yang baru aja aku baca. sukses bikin baper, sukses bikin deg deg ser.


Then? Such a beautifull words! Nggak cuma ada di rangkaian kalimat aja, tapi emang bener-bener punya sejuta makna. Di akhir tanda titik aku selalu senyam senyum dan manggut-manggut sendiri meng-iya- kan dalam hati, betapa aku baru sadar selama ini aku salah memaknai kata yang sering aku tuang dalam torehan tinta. Aku salah dalam mengartikan kata yang katanya punya sejuta rasa, apalagi kalau bukan "cinta". Satu kata, berjuta cerita, beragam asa.

dan akhirnya aku mau nanya kabar juga,

Helloooooooooooooooooww anybody home?
i miss u so much bloggie! long time no see!

Agak susah bikin postingan akhir-akhir ini, kalau buka blog sih aku sering, paling cuma sekedar dengerin backsound yang ada di blog sambil baca-baca ulang betapa aku alay selama ini. Galauuu mulu kerrrrjaanyah, namanya juga ABG. Eh, tapi gak juga sih, galau bukan masalah umur, tapi galau adalah ketika perasaan lebih menguasai diri dibanding logika, itulah galau, simple. Hmmm definisi itu aku dapet dari  buku apa ya.. lupa saya. Kembali ke topik, kenapa agak susah nulis postingan akhir-akhir ini? karena break yang keterlaluan lama. Terlena dengan dunia maya yang menyesatkan jiwa, terjebak dalam ruang yang sebenernya gak ada pembatasnya, teman bayangan, cinta bohongan, perasaan semu yang menipu. Ngomong apa sih, Ci?.. ya ngomong apalah intinya selama ini aku ilang itu aku lagi terjebak di dunia semi virtual itu. Tapi itu bukan selamanya salah dunia itu, tapi balik lagi ke individu sendiri, individu yang gak bisa membagi waktu, individu yang jauh dari kata profesional, individu yang memprioritaskan yang seharusnya disingkirkan.

Susah memulai lagi sesuatu yang udah di vakumkan cukup lama, semua kata-kata yang tadinya mengalir tanpa jeda jadi mandek di tengah jalan, jangankan ditengah jalan, pas baru mulai start aja kadang suka bingung mau mulai darimana, stuck. Semua kata dan huruf bagai menguap layaknya embun di pagi hari yang melebur disapa sinar mentari.

Jadi, Hai Cici, selamat datang kembali di dunia ini, kastil dimana kamu berperan sebagai tuan puterinya, dunia yang bikin kamu jadi lebih bawel saat nongkrong disini ketimbang di dunia kamu sendiri.


Welcome Home!




Regards : cicicipta
Happy Apple