Friday, May 6, 2016

The Last Word Early Story (Episode 11)




Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5 | Episode 6 | Episode 7 |                                  Episode 8 | Episdoe 9 | Episode 10

Hatinya kini terus saja resah, entah apa yang terjadi. Ara merasa lelah setiap kali harus memikirkan kisah cintanya. Tentang Fauzan yang mulai memberi perhatian atau tentang Faris yang mulai membuat pikirannya teralih begitu saja.

Beberapa hari ini di kantor sikap Ara pun berbeda. Tak ada lagi kertas origami. Tak ada lagi intip-intipan ala reporter pada fauzan. Faris? Sama. Semuanya kini diacuhkan Ara. Ia hanya sibuk dengan semua deadline dan wawancara ke sana ke mari.

"Ra, Lo sakit? Kenapa jadi pendiam gini sih? Patah hati? Kan Fauzan udah buka hatinya ke elo sekarang." David menyangga dagunya dengan kedua tangan, memandang Ara dengan penuh rasa penasaran.

"Maksud lo? Lo tau darimana? Jangan-jangan lo..." Mata Ara mengernyit setengah melotot ke arah David.

"Gue cuma mau bantuin lo doang, Ra. Lagian usaha lo cuma lempar origami doang, ya mana berhasil," tanpa rasa bersalah, David terus menyerocos di depan Ara.

"GILA lo ya, Vid? Harusnya elo ga perlu ikut campur. Ga perlu sama sekali. Ini urusan pribadi gue." Ara menghempaskan map di depannya dan berserakanlah segala isi dari map itu. David bukan main terkejutnya mendapati respon Ara yang begitu tak terduga. Ia mundur beberapa langkah, mengangkat kedua tangannya berusaha menahan emosi Ara.

"Oke, gue minta maaf. Tapi niat gue baik, Ra. Serius. Sekali lagi gue minta maaf." David kembali melangkahkan kakinya menjauh dari meja kerja Ara. Terlihat beberapa karyawan lain saling pandang. Tidak terkecuali Fauzan dan Faris.

Sepeninggal David, Ara benar-benar merasa bersalah membentak David. Harusnya ia bisa mengontrol emosinya lebih baik tadi. David hanya ceroboh. Diambilnya berkas-berkas yang berserakan tadi kemudian disusunnya kembali satu persatu. Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. "Aku lapar," keluhnya.

Di kantin kantor, Ira dengan pelan mengangkat sendok yang sudah diisi nasi goreng favoritnya. Sesekali ia putar-putar sendoknya, entah kemana pikiran Ara sekarang bermuara.

Dari jauh, Fauzan dan Faris datang mendekat. Ara yang menyadari itu, mengacuhkan nasi goreng yang baru beberapa suap ditelannya. Langsung saja ia bergegas pergi. Fauzan dan Faris pun saling pandang. Sama-sama mengangkat baru.

"Dia yang gue suka, Zan."

"Siapa?"

"Ara... "

Fauzan tak melontarkan respon apa pun. Berusaha mengontrol perasaannya. Sesimpul senyum terbentuk di wajahnya. Ditepuknya punggung Faris.

"Tapi dia udah duluan suka sama lo, Zan," lanjut Faris yang bergantian tersenyum. Fauzan terdiam sejenak.

"Ya sudah, kita biarkan saja Ara yang memilih dan Tuhan yang menentukan," ucap Fauzan lalu melemparkan pandangan jauh lewat kaca jendela.


By: Annisa Fitri




Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.

The Last Word Early Story (Episode 10)





Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5 | Episode 6 | Episode 7 |                                  Episode 8 | Episdoe 9

Ini pertama kali Ara melakukan reportase di kawasan lokalisasi. Sudah banyak wartawan lain yang tiba di TKP melakukan peliputan tentang kejadian tewasnya seorang pekerja seks di kawasan tersebut. Seusai meliput dan mewawancarai beberapa narasumber yang terlibat, Ara langsung mengirim email hasil liputan saat itu juga."huaaaah, akhirnya selesai jugaa" gumam Ara pada diri sendiri.

Tak lama kemudian dia mencari sesosok manusia yang namanya telah melayang-layang di memori otaknya selama ini. "Duh kemana ya si Fauzan itu, masa dia ga ngeliput kesini sih?" tanyanya dalam hati sambil menengok kanan kiri di kerumunan wartawan. Tiba-tiba pikirannya itu teralihkan melihat beberapa anak kecil seusia sekolah dasar sedang bertengkar sambil berkata-kata kasar dan jorok. "Hei hei hei kalian ga boleh berantem" sela Ara sambil melerai pertengkaran bocah-bocah tadi.

Tiga orang anak yang masih sekitaran umur 8-9 tahun itu masih adu mulut dan ingin memukul satu sama lain.
"udah-udah sini, stop berantemnya stop!" ucap Ara setengah berteriak sambil melerai. "diem lu, tai lu dasar lu sialan" ucap salah seorang anak laki-laki berambut coklat kemerah-merahan dengan kaos compang-camping
"heh, elu yang diem kampret lu dasar" ucap yang lain sambil mengarahkan tinju ke arah anak berambut coklat itu, sementara anak satunya lagi sedang berusaha melerai bersama Ara. "Hei, udah stop!! Kalo kalian berhenti nanti kakak traktir makan!" ucap Ara sambil memegang tangan anak itu, mereka terdiam seketika dan menatap ke arah ara bersamaan, "Oke, kenalin aku Ara, kalian pasti belom makan kan?", tanya Ara, "ayok masuk mobil, kita makan di dekat perempatan lampu merah"

Tiga orang anak laki-laki dengan pakaian lusuh itu seketika itu juga berhenti bertengkar. Ara mulai megemudikan mobil ke luar area lokalisasi dan memberhentikan mobil di depan restoran cepat saji tidak jauh dari kawasan peliputan tadi. Ketiga anak itu mengikuti Ara dari belakang. Ara langsung memesan makanan. "Kalian mau pesan apa?" tanya Ara. "Aku dada ayam yang paling besar" jawab salah satu dari mereka, "Aku mau paha" jawab si rambut merah, "aku terserah kakak aja" si pelerai menjawab. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka duduk di meja pojok dekat kaca.

Ara menyuruh mereka untuk makan terlebih dahulu. Tampak ketiga anak itu makan sangat lahap seperti sudah beberapa hari tidak makan. Tanpa basa basi mereka menghabiskan makanan seketika. Ara memperhatikan mereka sambil sesekali tersenyum bahagia melihat anak-anak yang polos itu. Selesai makan, Ara bertanya nama mereka satu persatu. "Aku Ujang kak" jawab anak yang melerai. "Aku Rino" jawab anak berambut coklat kemerahan, "Kalo kamu?", Ara lanjut bertanya, "Aku Adi" ucapnya agak ketus. "oke, kakak mau nanya jadi kenapa kalian berantem?, Trus kenapa kalian nggak sekolah?", "kita semua ngemis kak, jadi nggak sekolah", jawab Ujang polos, "tadi ada om wartawan yang kasih kue satu kotak ke kita bertiga tapi nggak sengaja jatoh sama Rino, hancur deh kuenya makanya berantem", lanjut Ujang, Rino dan Adi masih terdiam.

Ara tidak terlalu terkejut mendengar jawabannya karena sejak masih kuliah dia sudah akrab dengan anak jalanan dan anak-anak di wilayah lokalisasi seperti itu. Ara adalah perempuan dengan tingkat kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang seimbang. Sejak SMA, dia sudah aktif di berbagai kegiatan kerelawanan terutama mengajar anak-anak jalanan. Mereka bercerita mengapa mereka tidak sekolah dan mengapa bertengkar.

Di sudut meja lain, Ara tidak sadar ada seorang pria yang diam-diam memperhatikan ara dari tempat duduknya sambil sesekali mencoba mendengarkan apa yang Ara perbincangkan. "oke, jadi kalian semua ngemis dan kalian ditelantarkan orangtua sehingga kalian nggak sekolah, Adi dan Rino berantem tadi cuma gara-gara kue yang jatoh gitu kan?", Ara mencoba menyimpulkan, Mereka semua mengangguk. "ya udah, besok kakak kesini lagi terus kakak beliin kalian kue lebih banyak dari yang om wartawan tadi kasih, ayok saling minta maaf dan janji ga bakal berantem lagi satu sama lain juga ngomong kasar atau jorok lagi. Mereka saling mengulurkan untuk jabat tangan tanda permintaan maaf dan berjanji nggak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Setelah bertanya detail tentang kehidupan mereka, Ara akan mengantar mereka pulang ke kawasan lokalisasi tadi.

Tiba di parkiran mobil, ada seorang pria yang tengah menunggu di samping mobilnya. "eh Fauzan, ada apa?" tanya Ara kaget, "nih mau ngasih ini tadi jatuh pas lo ngambil dompet bayar makan di dalem" ucap Fauzan sambil mengulurkan secarik origami berbentuk burung yang ada di dalam tas Ara, "oh, oke thanks" jawab Ara dengan muka sangat shock.

"Ra, lo sibuk nggak hari ini? Ngopi dulu yuk, lo udah selesai kirim report ke atasan kan?", ajak Fauzan, "hmm udah si Zan, tapi gue udah ada janji sama nyokap sore ini", jawab Ara dengan hati berdebar-debar tak tentu arah, "kalo gitu weekend ini lo nggak sibuk kan? Makan di luar yuk? gue ajak ke restauran seafood deh, gue tau tempat yang enak", pinta Fauzan lagi tanpa basa-basi, "duh, mampus deh kenapa dia tau kalo gue suka banget seafood" pikirnya dalam hati sedikit geer. "Oke deh" jawab Ara singkat, "oke nanti ketemu dimananya kita personal chat aja kayaknya lo juga lagi buru-buru dan gue akan minta kontak lo ke david boleh kan?" Lanjut Fauzan sambil mengembangkan senyumnya yang sangat menawan, "oh, oke" jawab Ara dengan tingkah yang canggung, "yaudah gue duluan ya Zan" lanjut Ara sambil membuka pintu mobil agar anak-anak tadi masuk ke dalam.

Di dalam mobil ketika Ara mengemudi dan si Ujang menyeletuk "kak itu Om yang tadi ngasih kita kue sekotak loh". Ara sedikit terkejut sambil menjawab singkat "oh, om tadi ya?" Ara masih terhanyut dalam pikiran kacaunya tentang Fauzan. "Dia baca isi tulisan di origami gue nggak yaa? Kenapa tiba-tiba dia ngajak makan? Haduuuuh kenapa bisa jatuh siih" pikirnya dalam hati


***

Di dalam kamar kos, Fauzan masih terngiang-ngiang obrolannya dengan David kemarin malam di resto dekat kantor. "Zan, lu nggak punya perasaan atau gimana sih?" tanya David, "Emang ada apa Vid?" sambung Fauzan, "Lo nggak pernah ngerasa gitu kalo Ara punya rasa ke lo?" tanya David kembali, "Hah? Ara???" tanya Fauzan memperjelas, "iya Ara. Alisa Lunara sahabat gue sejak SMA. Wartawati lugas berhati emas. Parah aja lo selama ini dia suka sama lo dan lo nggak sadar", "beneran gue nggak tau Vid, lagian gue kan nggak kenal Ara banget Vid" jawab Fauzan agak kaget, "ya ini makanya gue kasih tau Zan." jawab David sedikit kesal, "Ara itu cewek yang nggak gampang suka sama cowok. Banyak yang berusaha ngedeketin, tapi dia bukan cewek sembarangan" lanjutnya. David meneruskan cerita kalau Ara punya jiwa sosial tinggi, care banget sama orang lain, dan yang nggak kalah penting dia perempuan cerdas. Nggak segan-segan dia kasih info kebaikan Ara yang selama ini dia kagumi sebagai seorang sahabat. Fauzan lumayan terkesima mendengar sosok Ara dengan banyak kelebihan dan yang paling penting sosok itu telah lama mengagumi dirinya. "Gini gini Vid, oke kalo ketemu nanti gue coba ajak dia keluar deh", "siip kalo gitu. Ntar gue kontak lo lagi ya" ucap David

Misi David yang berinisiatif nyomblangin Ara sepertinya menemui titik terang. Melihat sikap Ara siang tadi di resto membuktikan apa yang David katakan tentang sosok Ara memang benar. Fauzan mulai berkata dalam hati "Tuhan, sepertinya hamba batal untuk tidak menyukai perempuan dengan profesi yang sama denganku. Sungguh, Engkau maha membolak-balikkan hati manusia. Sepertinya perasaan itu mulai bergejolak di dada hamba. Entah perasaan apa yang mucul tapi........."

Pintu kamar tiba-tiba dibuka dan Fauzan sangat terkejut ada Faris yang muncul seketika dari balik pintu.
"hei, kenapa Zan kok kaget gitu? Ngelamunin cewek ya?" tanya Faris sedikit menyelidik, "haha, kepo banget Ris. Ada apa nih?" jawab Fauzan, "mau konsul nih masalah cewek sih, lo sibuk nggak?" sembari duduk di samping Fauzan, "kagak Ris. Gimana gimana, mau cerita apa lo?"
"gue lagi suka sama cewek Zan. Tapi cewek itu suka sama orang lain, nah orang lain itu nggak tau dan kayaknya sih nggak suka sama cewek yang gue taksir ini. Menurut lo gue harus gimana Zan?" ungkap Faris.

Dengan bijak Fauzan meberikan saran yang sangat tidak diprediksi "pertama-tama lo harus yakinin diri lo bahwa itu cewek beneran baik luar dalem lahir maupun batin. Nah, soalnya di usia kita yang udah mateng gini ris udah nggak jaman lagi pacaran dan main-main tanpa jelas endingnya. Ketika lo udah yakin dia cewek taat agama, baik, nggak macem-macem, lo langsung ajak dia nikah aja. Jangan tanggung-tanggung, lamar dia men!!" jawab Fauzan sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya.

Mendengar jawaban Fauzan, Faris sedikit kaget dan langsung kehabisan ide untuk berkata-kata lagi. Omongan Fauzan sama sekali nggak salah. "Jadi gitu pendapat lo ya Zan?" Tanya Faris memperjelas. Fauzan mengangguk sambil tersenyum. Dia tak tahu bahwa dia telah memberi saran sahabatnya untuk melamar orang yang mulai masuk mengisi kehampaan hatinya


#bersambung


By: Annisa Fauzia



Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya. 

Next Episode : Episode 11

The last word, an early story (Episode 9)




Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5 | Episode 6 | Episode 7 |                                  Episode 8


David pun menyambar perahu kertas yang hampir basah lalu berlari menuju tempat parkir, disimpannya di dalam saku jaket, rasa keponya cukup besar, berharap ada jawaban dari perahu kertas yang hampir hanyut terbawa air.

Faris masih terdiam disamping motor bututnya, sedikit sesal menyelinap, setelah tadi bersikap cuek dengan perasaannya akan perahu kertas, tiba – tiba ia ingin kembali, mengambil perahu kertas milik Ara.

“Belum pulang juga Ris?” tanya David membuyarkan lamunannya. “Eh, iya, belum, nungguin Fauzan sekalian” jawab Faris sambil sedikit terkejut,
“ya udah, Gue duluan ya, keburu malam, cepet pulang gih, ntar masuk angin, liat tuh baju lu sudah basah semua” pesan David

“siap 86 komandan” kata Faris sambil pura –pura hormat ibarat polisi lalu lintas.


***

Sementara ditempat lain....

Hujan mengguyur sepanjang perjalanan Ara, ingin sekali segera sampai di rumah, menikmati secangkir teh hangat dan berselimut tebal, sambil memikirkan Fauzan dan Faris.

“Apa, Fauzan dan Faris?” batin Ara, kenapa jadi bingung sekarang, bukankah selama ini my hero adalah Fauzan?? Yang selalu mewarnai hari –hari sebelumnya, mimpi –mimpi indahnya adalah Fauzan, kenapa bayangan Faris juga tak kunjung pergi.

Ya Tuhan jangan jadikan aku makhluk yang serakah, cukup satu matahari saja yang menyinariku.

Ara berusaha mengingat rangkaian peristiwa kenapa dari dulu tidak menyukai Faris, sekalipun Faris dan Fauzan sangat dekat sekali, Faris tidak seperti Fauzan yang selalu mengalah.

Faris selalu terlihat ingin dipandang lebih, baik dikantor ataupun saat di lapangan, berbeda dengan Fauzan yang selalu low profile, setiap Ara butuh bantuan, tanpa dimintapun Fauzan selalu bersiap, meski kadang ia juga menghindar dari tatapan curiga teman –teman se profesi mereka.

Dua puluh menit berlalu, rumah Ara sudah terlihat didepan mata, segera ia masuk dan mengganti bajunya dengan baju santai, Bi Inem menyuguhkan secangkir teh hangat dan segera diteguknya.

Menjelang tidurnya bayangan dua lelaki masih menggelayuti pikiran, "Kenapa aku masih memikirkan mereka” kata Ara dalam hati. Tak ingin belama–lama kalut dalam kegalauan, ditariknya selimut tebal, ingin rasanya ia segera pergi ke pulau mimpi, mimpi yang indah, bertemu sang matahari.

Selang berapa detik.

'tut, tut, tut' sms berdering, sms dari David

“Aku tau yang mebuatmu galau selama ini, hahaha, dasar Ara!!!, jangan dikira inisial F itu gue ngga tau, so don’t worry, tenang aja, aman”

Deg, Ara kelabakan, jangan–jangan David sudah tau semua, jangan–jangan David menemukan lipatan kertas di halaman parkir tadi, pikiran Ara mulai berkecamuk, segera ia balas sms David.

“Dasar kepo lu, terserah lu deh, yang penting sekarang mo bocan/bobo cantik sambil mimpi indah....bye bye kepoer,,”
Balasan sms Ara berlawanan dengan hati nuraninya. Malam itu benar –benar menjadi malam yang panjang bagi Ara, kini ada 3 lelaki yang membuat kepalanya berputar, apa yang harus ia jelaskan besok, kepada siapa ia harus menjelaskan, haruskah ia konfrensi pers bahwa yang ia idamkan selama ini adalah Fauzan.

Di waktu yang sama..

Faris dan Fauzan segera masuk kosan dengan berbasah kuyub, tak lupa mereka menyempatkan ngobrol sejenak sambil menikmati seduhan kopi buatan Fauzan, membicarakan rencana kantor yang akan dilakukan esok hari, ingin sekali Faris menyinggung sedikit masalah wanita diantara obrolan mereka, dengan hati –hati ia bertanya kepada Fauzan.

‘’eh, Zan, menurut kamu, Ara itu cantik gak?” tanya Faris. “hmmm, kok tiba–tiba ganti topik Ris, jangan–jangan lagi kena VMJ, virus merah jambu?” ledek Fauzan. “nggak nanya doang, menurutmu cantik mana Ara sama Nicole” tanya Faris lagi.

“Ris, Cantik itu relatif, siapa yang memandang, Ara cantik, Nicole juga cantik, puas lu“ jawab Fauzan. “kalo diminta memilih, kamu milih siapa Zan?” tanyanya lagi semakin penasaran. “milih?? Siapa ya, nggak ah, aku gak memilih siapa–siapa“ jawab Fauzan yang merupakan angin segar bagi Faris.

“lhoo kenapa Zan?” Faris makin kepo, “dengar ya Ris, aku nantinya ingin punya pasangan yang tidak sama profesinya denganku, aku ingin berbagi cerita dengan istriku kelak dengan dunia kerja kami masing–masing, itu akan terasa lebih seru” jelas Fauzan yang akhirnya membuat Faris bengong dihadapannya, antara senang bisa mendekati Ara, juga sedih karena mengetahui cinta ara bertepuk sebelah tangan.

Oh tuhan betapa rumitnya cinta ini


By ichasholicha





Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya. 


Next Episode : Episode 10

The last word an early story (Episode 8)




Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5 | Episode 6 | Episode 7

Malam ini, udara terasa lebih hangat--lebih tepatnya gerah. Langit pun nampak gelap tak berbintang, mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Ara yang baru saja menyelesaikan laporan tugasnya memutuskan untuk pulang. Terlebih lagi mengingat perdebatan kecil dengan David yang baru saja terjadi, membuat Ara malam ini ingin segera meninggalkan kantor tempatnya bekerja dan menjauh dari makhluk terkepo sedunia itu. Ia tak suka jika permasalahan hatinya terusik khalayak umum.

Baru satu langkah gadis berambut sebahu itu menjejakkan kakinya menuju tempat parkir, sebutir air menetes tepat di punggung tangannya, "Hujan," gumam Ara. Ia mempercepat langkah kakinya untuk segera memasuki mobil yang terparkir tak jauh dari pintu kantor. Hujan memang terkadang tak mengerti aba-aba, sedetik ia merintik perlahan, bisa saja sedetik kemudian ia menghujam bumi dengan arogannya secara keroyokan, dan Ara tidak suka hal itu.

Gadis itu menghelakan napasnya lega, setelah ia berhasil sepenuhnya masuk ke dalam mobil dan melihat betapa cepatnya hujan tiba-tiba menderas malam itu. Sembari menanti mobil yang sedang dipanasi, Ara memutuskan untuk membuka tasnya dan mengambil selembar kertas lipat dan sebuah pena.

'Matahariku memang hanya satu, dan selamanya akan tetap menjadi satu-satunya. Namun entah darimana asalnya, sebuah angin kecil membawaku terbang menemui rembulan. Cahayanya asing. Dan kini, matahari dan rembulan sedang beradu dalam pikiran.'

Tulisnya kemudian melipat kertas itu menjadi bentuk sebuah perahu setelah menuliskan dua huruf 'F' di bagian ujung barisnya.

Fauzan dan Faris. Mungkin itu maksudnya.

Ara kemudian membuka sedikit jendela mobil yang sebelumnya ia tutup rapat karena tak mau air hujan bertempias kedalam mobilnya.

"Berlayarlah, kepada siapapun yang akan merengkuhmu. Matahari atau rembulan yang cahayanya tak ku mengerti." Ujarnya seraya melempar perahu kertasnya ke luar jendela, meski ia tahu tak akan mungkin genangan air akan membawa perahu itu bergerak mengalir. Ara kemudian mulai menekan pedal gasnya perlahan. Meninggalkan pelataran kantornya tanpa ia tahu sejak tadi ada yang memerhatikannya dari kejauhan.

Faris. Sejak tadi ia melihat gerak-gerik Ara. Tak sengaja sebenarnya. Faris yang juga berniat untuk segera pulang karena merasa hujan akan segera turun, keluar dari arah ruangan yang berbeda dengan Ara. Namun langkah lelaki itu terhenti di balik ujung tembok ketika ia melihat gadis itu berlari kecil menuju halaman parkir. Ia enggan bertemu dengan Ara sejak kejadian pagi tadi. Pikirannya masih berkecamuk bingung, antara menyerah karena gadis yang diidamkannya menyukai lelaki lain, atau terus berjuang seperti yang dikatakan Fauzan, sahabatnya.

Setelah mobil gadis itu menjauh dan tak terlihat dari pandangan Faris, lelaki itu pun melanjutkan niatnya untuk pulang. Meski harus kebasahan terguyur hujan ketika menuju tempat kendaraannya diparkirkan.

Ia mengabaikan perahu kertas yang Ara lemparkan dari jendela mobilnya tadi. "Biarin aja deh." Lirihnya tak terdengar, kalah dengan deru rintikan air hujan. Untuk apa ia mengambil perahu kertas itu, toh surat itu bukan untuknya, pikir Faris. Ia pun melenggang pergi dengan mantel yang tak jadi ia kenakan untuk melindungi tubuhnya dari air hujan. Berbeda dengan Ara, Faris adalah pecinta hujan. Ia lebih suka berbasah-basahan dan membiarkan rintik air langit itu mencumbu tubuhnya. Dingin, ia tahu itu. Tapi Faris menikmatinya. Ia suka hujan, bertolak belakang dengan Ara. Seperti perasaan Faris kini, berbeda. Gadis itu tak jatuh cinta pada Faris, seperti Faris yang sudah terlanjur terjatuh hatinya pada gadis origami itu.

"Sial! Tambah deres lagi!" Rutuk seorang laki-laki lain yang baru saja berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu keluar. "Apaan tuh?" Gumamnya ketika melihat sebuah perahu kertas biru tergeletak di tengah halaman parkir. "Pasti punya Ara." Ujar lelaki itu berbinar dan memutuskan untuk memungut kertas tersebut. Senyum jahilnya mengembang ketika ia telah berhasil membuka dan membaca pesan dalam perahu kertas itu.

Lelaki itu, David.

By: Salma Salsabila



Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.


Next Episode : Episode 9

The last word, an early story (Episode 7)





Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5 | Episode 6



Terlukis selalu bayangan-bayangan Fauzan yang menghantui pikiran Ara.. Hingga deadline pekerjaanya menjadi tersendat

"Kenapa kebayang-bayang mukanya Fauzan terus ya? Ah sudahlah aku harua fokus mengerjakan Deadline pekerjaan hari ini"
lalu Ara melanjutkan pekerjaannya yang deadline hari ini.

-------

Akhirnya pekerjaan itu pun selesai dengan tepat waktu.. dan David pun selalu bangga dengan pekerjaanya Ara yang sangat profesional.

Lalu David mengahampiri Ara.
"Nah gitu dong Ra, kan kalo kerjaan lu kelar gue juga yang seneng" ujar David

"Iyaaa.. Udah kan pekerjaan hari ini? Gue mau balik ya Vid" Ujar Ara

"Oke, tapi btw kayaknya lo lagi jatuh cinta deh, sama siapa sih Ra?" Ujar David

"Emang kalo gue sedang jatug cinta, atau ngga itu masalah buay lo vid? Ujar Ara

" gue itu care Ra, jatuh cinta itu meski cepet-cepet dieksekusi, ntar keburu keduluan orang loh.. Ntar lo nyesel aja!" Ujar David

Ara hanya diam dan membereskan meja kerjanya.
Ara hanya berkata dalam hati
"iya gue juga tau kali Vid, tapi gue nggak mau cerita sama lo juga, yang ada bisa abis gue dicengin satu kontor" Ara sambil tarik napas lega.

Dan Ara pun lanjut bergegas untuk pulang kerumah karna jam sudah menunjukkan pukul 20.00 malam.



Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.


Next Episode : Episode 8

The last word, an early story (Episode 6)





Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4 | Episode 5


Bersemangat menjalani hari hari adalah sifatnya Ara yang tidak bisa diceraikan dari dirinya. Ia sedari tadi kebingungan harus bagaimana agar Fauzan bisa membaca bait bait yang sudah diciptakan untuk sang matahari bagi hatinya tiap hari. Namun, selepas makan siang tadi pikirannya kalut sekali, iya memikirkan Fauzan, namun entah kenapa pikirannya bercampur dengan Faris, ia merasakan ada yang lain tadi dari gelagat Faris. Berkali kali ia coba fokuskan saja pada Fauzan namun bayang bayang wajah Faris tadi di lorong terngiang selalu.

“Aku kenapa?, kenapa Faris ikut hadir dalam pikiran ini?, ah, hilang dong”.

Ia bicara sendiri. Di meja kantornya seharusnya Ara menyelesaikan deadline yang akan diserahkan kepada David, namun pikirannya kacau sekali.

“Ra, sudah selesai yang gue minta?” Ara hanya membalas dengan nyengir. “harus segera selesai Ra, ini sudah jam berapa, kamu kalau ada urusan yang belum selesai, nanti saja kamu selesaijan Ara, ingat kita kejar deadline dan kejar tayang, kamu gak boleh mencampurkan banyakna urusan yang harus kamu selesaikan, itu pesanku untuk semua rekan kerjaku, hahaha”

“lu kenapa ceramahin gue gitu Vid?, emang gue lagi ngurus apa? Sok tau lu” Ara memoyonhkan mulutnya. “halah, lu, gak usah mengelak ke gue Ra, gue tau kok lu ngurus apa dan kenapa, gue udah pengalaman tau lu, hahaha” David ketawa lepas dengan ciri khasnya. “serah lu lah Vid, lu emang raja kepo dan sotoy” lagi lagi Ara memayunkan bibirnya tanda kesal dan bercampur aduk gelisah takut ketauan sama David. “gini deh, lu cerita ke gue, mana tau gue bisa bantu elu, kan gak rugi lu Ra? Lu gak percaya gue?” sambil membenarkan kerah kemejanya, David masih berdiri di dekat Ara, di ambilnya sebuah kursi. “gue tabak ajalah ya, lu lag jatuh cinta kan?” David menggerakkan alisnya sambil menggoda Ara, wajah Ara langsung berubah. “lu, gak usah grogi gitu ke gue Ra, gelagat perempuan kalau lagi jatuh cinta ada di lu Ra, salah satunya, gak fokus kerja” David kali ini berubah gayanya bahasanya dengan serius.

Ara hanya diam saja mendengarkan perkataan David. Ia kembali memperhatikan catatatn berita baru yang akan ditulisnya. Sambil ngetik Ara bicara “Vid, lu sok tau amat sih jadi orang, emang lu anak psikologi” kali ini David ketawa lagi, walaupun gue bukan anak psikologi tapi gue kan rajin baca Ra, lu lupa ya?. Emang lu mau bantu apa kalau sotoy lu itu benar?” Ara masih asyik dengan ketikannya, ia tidak terlalu menanggapi serius, walaupun hatinya serasa copot ditangkap begini sama David. David itu ember mulutnya, itu yang Ara khawatirkan sebenarnya, jadi ia takut, ini akan menjadi gossip kantor.

“gini aja deh Vid, dari pada lu ganggu gue lagi kerja, mending lu pergi aja, nanti gak selesai ini lu juga yang susah kan? Hahaha.” Ara sengaja tertawa agar David terlihat kacau akan analisanya. “udah lu pergi sana, udah kepo sotoy lu lagi, buat gue gak fokus aja lu” Ara tidak melirik sedikitpun menandakan ia sangat serius menyuruh David pergi. “Dasar jutek lu Ra, gue mau bantuin lu, lu malah giniin gue, ya sudahlah, gue mau kasih sedikit nasehar buat lu, berjuang sendiri dalam hal cinta itu lebih susah ketimbang ada orang ketiga yang menjadi perantara, setidaknya ada rasa malu malu yang tersimpan” David berlalu meninggalkan Ara yang sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ara berhenti ngetik saat David beranjak, ia memikirkan kata kata David, ‘benar juga apa yang dia bilang, hmmm, tapi bukan lu yang pasti orang ketiga itu Vid, lu ember sih” Ara tersenyum simpul, ia melanjutkan lamunannya tentang Fauzan dan bertanya-tanya, kenapa tadi saat memikirkan Fauzan sosok Faris datang menghampiri?. Ara bertanya dengan dirinya sendiri. Kenapa wajah iba Faris yang terlukis?.....

By: Helmi Yani


Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.


Next Episode : Episode 7

The last word, an early story (Episode 5)





Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3 | Episode 4

Mereka asyik melanjutkan percakapan dan tidak memperhatikan kemana faris pergi, Seseorang dari kejauhan memanggil Ara "raaaaa" teriak David sosok tinggi jangkung dengan khas rambut keritingnya.

"... karena takut ketahuan oleh Fauzan dan satu orang lagi -David. Kenapa di saat begini editor penanggung jawab gadis itu harus muncul? David dan sifat keponya adalah hal yang paling merepotkan untuk dihadapi Ara saat ini.

Daripada David memborbardirnya dengan bermacam pertanyaan hal yang kepo, Ara memilih kabur sekarang takut ketahuan oleh Fauzan, dan David pun langsung berlari mengikuti Ara.

"Raa tunggu" teriak David sambil menarik tas gemblok bunga2 nya dengan sigap.
"Aaahh elo apaan sih gatau apa orang lagi...."
"Lagi apa raa ?"
"Lagi...kepooo mau tau aja lo emang ada apaan sih gue lg buru2 nih"
"Gapapa gue cuma mau tanya laporan hari ini udah selesai belum gue mau liat. Emang ada hal lebih penting dari pd ini ? Tanya David sang editor penasaran.
"Iyaa ini lg gue kerjain tp bentar ada sesuatu yg harus gue urus, kalo ini ga kelar bisa ga fokus gue ngerjain laporannya, lo mau hasilnya asal2an hahh?"
"Woilah galak amat neng iyee iyee maap yauda gih selesaiin dulu urusan lu awas gue tunggu siang ini yaa HARUS SELESAI"
"Iyee selow in syaa Allah selesai bantu doa aja yaa byee"
"Eh bentar emng urusannya apa sih?" Selidik David
"Mau tau ? Kepoooo" Iseng Ara tertawa sambil berlari takut di tahan David lagi.

"Gue harus ketemu Faris pokonya harus bisa gawat kalo udh dibaca dan...aaaa jgn pikir yg ga ga dulu" batin Ara dengan panik sambil sesekali menenangkan hati

Di taman.
Sambil tersenyum2 sumringah dengan detak jantung yg tak beraturan Faris membaca tulisan Ara dengan seksama.
"Hahh Ara setiap aku membaca tulisan mu semakin aku ingin bilang pada mu bahwa aku jg merasakan hal yg sama" Faris berbicara sendiri di taman yg asri dan sepi.
"Yaa sepertinya harus, hari ini aku akan berbicara dengan Ara, harus !"
Dan bergegaslah Faris mencari Ara.

Di lorong kantor.
"Faris..."
"Ara..."
Sapa Faris dan Ara berbarengan ketika tidak sengaja bertemu di lorong.
Dengan napas terengal2 karna sudah jalan cepat Ara memberitahukan bahwa ingin menjelaskan sesuatu.

"Sama gue jg ra.. tp ladies first silahkan lo dulu yg ngomong" jawab faris dengan tersenyum memikirkan bahwa yg akan di bicarakan Ara sama dengan apa yg ingin Faris sampaikan.
"Sebelumnya maaf bgt yaa gue mau nanya kertas burung td masih ada di lo ? Terus udh lo baca ? Aduuh gmn yaa jelasinnya gue jd binggung nih hehe"
"Santai raa santai lo atur napas lo dulu hehe"
"Huhh hahh gini, Faris itu tulisan gue burungnya salah mendarat maaf bgt tulisan itu bukan buat lo" terang Ara sambil malu2 dengan suara kecil karna merasa ga enak sama Faris.

Seperti disambar petir hati Faris retak seketika seperti kaku tiba2 tidak bisa berbicara.
"Ris.."
"Eh raa sorry..iyaa ini yg mau gue omongin gue kan tau yg suka buat kaya gini nih elo, makanya mau gue balikin sekalian mauu ciiiee in, ciiee buat siapa nih raa bagus jg tulisan lo hehe" Jawab Faris sambil nyerahin kertas burungnya
"Sorry yaa gue lancang baca duluan sebelum sampe ke orang yg pasti hehe" sambung Faris lg.
"Hehe iyaa gpp sorry yaa lo ga baper kann? Haha suatu saat nanti akan ada kok cewe yg nulis kaya gini buat lo hehe"
"Haha baperrr ? Yaa gaa lahh gila kali, yaudah yaa gue cabut duluan ada yg mau gue kerjain dah raa" ucap Faris memotong karna takut ketahuan Ara.

Di cafe kantor lantai atas.
"Wey bro ngapa lo bengong gitu" sapa Fauzan yg tiba2 muncul menghamburkan lamunan Faris.
"Heehh elo zan, gak kok gpp gue cuma lagi mikirin sesuatu aja"
"Apaan? Mungkin gue bisa bantu?"
"Hahh gak kok gpp"
"Apaansih... lo ga biasanya selow aja kali knp? cerita lah kepo nih gue"
"Gpp cuma lg kepikiran sesuatu"
"Yaa apaa" Sahut Fauzan dengan penasaran.
"Heemm...gimana nih jd lo, kalo lo suka sama seseorang yg udah lama lo kira doi suka sama lo jg, lama lo pendem rasa bahwa doi suka sama lo, sampe suatu saat doi sendiri yg dengan ga sengaja nyatain kalo yg dia suka ternyata bukan lo, ada cowo lain yg ternyata mungkin sahabat lo sendiri yg doi suka. Apa yg akan lo lakuin karna udh suka dan sayang sama doi?" Jelas Faris merasa percaya dan yakin menceritakan ini ke Fauzan.
"Heemm kalo gue jd lo yaa gue pertahanin lahh masa cuma gara2 salah alamat gue lupain perasaan gue ya ga segampang itu lah. Emng knp bro lo lg kaya gitu? Selidik Fauzan.
"Hahh yaa gaa laah bukan temen gue nanya ke gue dan gue binggung jawabannya tp gue sependapat sih sama lo hehe kita emng jo..doohh zan haha"
"Isshh amitt amiit lo kalo stress jgn ajak2 gue haha" canda Fauzan dan Faris tertawa bersama.

Di ruangan Faris.
"Fauzan bener, gue harus pertahanin perasaan gue, paling ga dia harus tau apa yg gue rasain slama ini, dan gue akan usahain deket dulu sama Ara, yaa mungkin saja memang ini takdir dari Allah, mempertemukan kita dengan cara yang tak terduga" batin Faris bersemangat.

By : Andi Indah P




Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.


Next Episode : Episode 6

The last word, an early story (Episode 4)






Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3

Seseorang yang jatuh cinta pasti akan berdebar debar hatinya apabila berdekatan dengan orang yang dicintainya, ditambah lagi jika orang yang dicintainya itu berada hanya 5 jari didekatnya. Udara dinginna AC sudah tak terasa oleh ara yang diliputi oleh aura panasnya darah yang mendesir kencang dipompa oleh jantung wanita muda tersebut.

“ara, kamu kenapa diam saja sejak mereka berdua berada didekat kita, kamu sakit atau ????” bisik Nicole kepada ara yang memang wajah ara sudah merah semerah bayi yang baru dilahirkan sejak Faris dan Fauzan ada di dekat mereka.

“atau apa ???”

ara sontak menjawab dengan terkejut, hampir saja kedua mata coklat ara keluar dari sarangnya karena mendengar pertanyaan Nicole yang mulai genit kepadanya.

“eehh.. maaf-maaf”

Ara menunduk karena menahan malu ketika melihat Faris dan Fauzan menatapnya aneh. Maklum,  perempuan yang mana juga bisa rela membiarkan dirinya melakukan hal aneh didepan orang yang disukainya ?

“yaudah, saya kebelakang dulu. Sepertinya badan saya tidak enakan sejak tadi pagi. Bisa jadi karena saya belum bisa beradaptasi dengan udara Bogor, padahalkan sudah 2 bulan saya disini sejak saya ditransfer dari Jakarta. Huft”

Ara berlalu membalik badan dengan secepat kilat, tangannya yang sigap mengambil lembaran-lembaran kertas kosong tanpa bentuk apalagi isi yang ada di meja tempat mereka berkumpul, kertas-kertas itu dimasukkannya kedalam tas yang berisiskan origami-origami kecil milik ara.

“oke.. bye.. assalammualaikum”

Ara bergegas pergi meniggalkan mereka bertiga.

Dibalik pintu kamar mandi yang tak jauh dari tempat Nicole berkumpul bersama Faris dan Fauzan ara mengintip lelaki idamannya secara diam-diam, berusaha untuk melihat fauzan tanpa harus dilihat fauzan, yah mungkin bahasa gaulnya “mengintip”.

Naluri ara sebagai seorang wartawan yang mencintai sastra itu pun bergairah dengan penuh semangat ketika ara melihat fauzan dari kejauhan.

Tangannya merogoh tasnnya dan mengambil secarik kertas dan sebuah pena berwarna hijau tua sebagai warna kesukaan ara, jari-jari kecil ara pun menari lembut diatas kertas putih tak bertinta itu.


Bagi orang mungkin matahari itu jauh.

Tapi bagiku ntah kenapa aku mengatakannya sangat dekat.

Apakah karena aku tau jarak antara aku dengan matahari.

Atau karena ku sudah pernah menemukan yg lebih jauh dari matahari.

Aku pun tak tau.

Bagi ku matahari itu tetaplah dekat.

Sedekat aku dengan matahari.

Iya.  Aku merasakan hangatnya tapi matahari belum tentu bisa merasakan keberadaanku.

Bagiku tidak penting apakah matahari merasakan keberadaanku.

Yang penting aku merasakan keberadaannya.

Seandainya matahari terlalu dekat denganku, aku bisa kepanasan bahkan aku akan menghadapi kematian.

Bersyukur tuhan menciptakan jarak diriku dengan matahari seperti jarak ku sekarang ini.

Kalau terlalu jauh, aku tidak bisa merasakan hangatnya apalagi belaian sinarnya di pagi hari dan indah cahayanya di sore hari.

Aku lagi lagi bersyukur jarak ku dengan matahari hanya segini..

Tak terlalu jauh apalagi terlalu dekat.

Seperti jarak ku pada mu.

Masih satu kantor, satu kota dan satu profesi.

Aku masih bisa merasakan hangatnya darah mengalir ditubuh ku ketika kau berada di sekitar ku.

Iya..  Sedekat matahari.

Terkadang ku melihat senyum indah mu di sore itu bersama teman teman mu.

Ku melihat dari dekat, apalagi kalau bukan Sedekat matahari.

Bagi ku ini sudah dekat.

Sangat dekat, aku belum siap lebih dekat dari ini dengan mu.

Apalagi hingga jarak 5 jari dengan mu, itu akan menjadi kiamat bagi ku.

Seperti matahari. Dan tentu saja Sedekat matahari.

Tetaplah menjadi matahari, dan jangan menjauh apalagi mendekat.

Karena aku dan kamu Sedekat matahari.

Aku merasakan keberadaan mu, meski kamu tak pernah merasakan ihal yang sama itu.


Dibalik kertas berisi puisi itu ara menuliskan Fauzan, dengan tulisan berbahasa mandarin sebagai kode untuk setiap puisi yang ara buat. Lalu kertas itu ara lipat dengan setulus hati menjadi lipatan kecil berupa pesawat yang tak ubah seperti pesawat yang dimainkannya ketika kecil dulu.

Ara pun memeluk pesawat kecil itu sambil berdoa,

“terbanglah bersama angin dan ajaklah angin memeluk dia yang kucinta secara diam, pergilah ke dirinya. Sampaikan salam cinta ku untuk dia sang matahari pujaan hati”

Dengan mana tertutup dan penuh keyakinan ara melempar pesawat tersebut ke arah fauzan yang tegak membelakangi ara. Tak ada seorangpun yang melihat ara melemparkan pesawat itu.

Pesawat kecil itu pun tepat jatuh dibawah kaki fauzan, dan ara menggenggam erat tangannya sambil berharap pesawat itu dibaca.

Namun, angin jahat ntah dari mana datangnya meniup lembut pesawat mirik ara sehingga pesawat itupun berpindah ke bawah kakinya faris, dengan tak sengaja faris pun melihat pesawat itu dibawah kakinya sambil memperhatikan tulisan OPEN ME di sayap sebelah kanan pesawat itu.


“ADUUH !!!”

Teriak ara dalam hati !!

Faris membuka surat itu dan membaca puisi buatan ara yang sesungguhnya puisi itu dibuat untuk fauzan sang matahari.

“ini pasti dari ara, sudah ku duga jika dia memang mencintai juga seperti kata hati ku selama ini”

Faris menggenggam kuat kertas itu, karena baginya membaca di dekat ramai orang tidak bisa membuatnya menjiwai tulisan indah dari ara, faris pun bergegas meminta izin kepada fauzan dan nicole untuk menuju meja kerjanya.


Dengan tangan masih menggenggam erat kertas berisi puisi ara, faris berjalan dengan setengah berlari meninggalkan mereka.

By: Insanul kamil




Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.



Next Episode : Episode 5
Happy Apple