Friday, May 6, 2016

The last word, an early story (Episode 4)






Previous Episode : Episode 1 | Episode 2 | Episode 3

Seseorang yang jatuh cinta pasti akan berdebar debar hatinya apabila berdekatan dengan orang yang dicintainya, ditambah lagi jika orang yang dicintainya itu berada hanya 5 jari didekatnya. Udara dinginna AC sudah tak terasa oleh ara yang diliputi oleh aura panasnya darah yang mendesir kencang dipompa oleh jantung wanita muda tersebut.

“ara, kamu kenapa diam saja sejak mereka berdua berada didekat kita, kamu sakit atau ????” bisik Nicole kepada ara yang memang wajah ara sudah merah semerah bayi yang baru dilahirkan sejak Faris dan Fauzan ada di dekat mereka.

“atau apa ???”

ara sontak menjawab dengan terkejut, hampir saja kedua mata coklat ara keluar dari sarangnya karena mendengar pertanyaan Nicole yang mulai genit kepadanya.

“eehh.. maaf-maaf”

Ara menunduk karena menahan malu ketika melihat Faris dan Fauzan menatapnya aneh. Maklum,  perempuan yang mana juga bisa rela membiarkan dirinya melakukan hal aneh didepan orang yang disukainya ?

“yaudah, saya kebelakang dulu. Sepertinya badan saya tidak enakan sejak tadi pagi. Bisa jadi karena saya belum bisa beradaptasi dengan udara Bogor, padahalkan sudah 2 bulan saya disini sejak saya ditransfer dari Jakarta. Huft”

Ara berlalu membalik badan dengan secepat kilat, tangannya yang sigap mengambil lembaran-lembaran kertas kosong tanpa bentuk apalagi isi yang ada di meja tempat mereka berkumpul, kertas-kertas itu dimasukkannya kedalam tas yang berisiskan origami-origami kecil milik ara.

“oke.. bye.. assalammualaikum”

Ara bergegas pergi meniggalkan mereka bertiga.

Dibalik pintu kamar mandi yang tak jauh dari tempat Nicole berkumpul bersama Faris dan Fauzan ara mengintip lelaki idamannya secara diam-diam, berusaha untuk melihat fauzan tanpa harus dilihat fauzan, yah mungkin bahasa gaulnya “mengintip”.

Naluri ara sebagai seorang wartawan yang mencintai sastra itu pun bergairah dengan penuh semangat ketika ara melihat fauzan dari kejauhan.

Tangannya merogoh tasnnya dan mengambil secarik kertas dan sebuah pena berwarna hijau tua sebagai warna kesukaan ara, jari-jari kecil ara pun menari lembut diatas kertas putih tak bertinta itu.


Bagi orang mungkin matahari itu jauh.

Tapi bagiku ntah kenapa aku mengatakannya sangat dekat.

Apakah karena aku tau jarak antara aku dengan matahari.

Atau karena ku sudah pernah menemukan yg lebih jauh dari matahari.

Aku pun tak tau.

Bagi ku matahari itu tetaplah dekat.

Sedekat aku dengan matahari.

Iya.  Aku merasakan hangatnya tapi matahari belum tentu bisa merasakan keberadaanku.

Bagiku tidak penting apakah matahari merasakan keberadaanku.

Yang penting aku merasakan keberadaannya.

Seandainya matahari terlalu dekat denganku, aku bisa kepanasan bahkan aku akan menghadapi kematian.

Bersyukur tuhan menciptakan jarak diriku dengan matahari seperti jarak ku sekarang ini.

Kalau terlalu jauh, aku tidak bisa merasakan hangatnya apalagi belaian sinarnya di pagi hari dan indah cahayanya di sore hari.

Aku lagi lagi bersyukur jarak ku dengan matahari hanya segini..

Tak terlalu jauh apalagi terlalu dekat.

Seperti jarak ku pada mu.

Masih satu kantor, satu kota dan satu profesi.

Aku masih bisa merasakan hangatnya darah mengalir ditubuh ku ketika kau berada di sekitar ku.

Iya..  Sedekat matahari.

Terkadang ku melihat senyum indah mu di sore itu bersama teman teman mu.

Ku melihat dari dekat, apalagi kalau bukan Sedekat matahari.

Bagi ku ini sudah dekat.

Sangat dekat, aku belum siap lebih dekat dari ini dengan mu.

Apalagi hingga jarak 5 jari dengan mu, itu akan menjadi kiamat bagi ku.

Seperti matahari. Dan tentu saja Sedekat matahari.

Tetaplah menjadi matahari, dan jangan menjauh apalagi mendekat.

Karena aku dan kamu Sedekat matahari.

Aku merasakan keberadaan mu, meski kamu tak pernah merasakan ihal yang sama itu.


Dibalik kertas berisi puisi itu ara menuliskan Fauzan, dengan tulisan berbahasa mandarin sebagai kode untuk setiap puisi yang ara buat. Lalu kertas itu ara lipat dengan setulus hati menjadi lipatan kecil berupa pesawat yang tak ubah seperti pesawat yang dimainkannya ketika kecil dulu.

Ara pun memeluk pesawat kecil itu sambil berdoa,

“terbanglah bersama angin dan ajaklah angin memeluk dia yang kucinta secara diam, pergilah ke dirinya. Sampaikan salam cinta ku untuk dia sang matahari pujaan hati”

Dengan mana tertutup dan penuh keyakinan ara melempar pesawat tersebut ke arah fauzan yang tegak membelakangi ara. Tak ada seorangpun yang melihat ara melemparkan pesawat itu.

Pesawat kecil itu pun tepat jatuh dibawah kaki fauzan, dan ara menggenggam erat tangannya sambil berharap pesawat itu dibaca.

Namun, angin jahat ntah dari mana datangnya meniup lembut pesawat mirik ara sehingga pesawat itupun berpindah ke bawah kakinya faris, dengan tak sengaja faris pun melihat pesawat itu dibawah kakinya sambil memperhatikan tulisan OPEN ME di sayap sebelah kanan pesawat itu.


“ADUUH !!!”

Teriak ara dalam hati !!

Faris membuka surat itu dan membaca puisi buatan ara yang sesungguhnya puisi itu dibuat untuk fauzan sang matahari.

“ini pasti dari ara, sudah ku duga jika dia memang mencintai juga seperti kata hati ku selama ini”

Faris menggenggam kuat kertas itu, karena baginya membaca di dekat ramai orang tidak bisa membuatnya menjiwai tulisan indah dari ara, faris pun bergegas meminta izin kepada fauzan dan nicole untuk menuju meja kerjanya.


Dengan tangan masih menggenggam erat kertas berisi puisi ara, faris berjalan dengan setengah berlari meninggalkan mereka.

By: Insanul kamil




Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).


Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.



Next Episode : Episode 5

0 comments:

Post a Comment

Happy Apple