Wednesday, January 23, 2019

Perihal Sederhana; Budaya Antre

Wanchai, Hongkong.


Dengan budget pas-pasan, dan dengan satu kantong plastik besar mie gelas sebagai bekal, aku dan kedua temanku nekat backpackeran ke salah satu kota tersibuk didunia, terletak di bagian tenggara Tiongkok di Pearl River Estuari dan Laut Tiongkok Selatan, Hong Kong.

Negara selain Indonesia yang pertama aku kunjungi. Perbedaan budaya negara ini  dengan Indonesia cukup membuatku terkagum-kagum.

Bukan membandingkan dengan Indonesia tercinta, Indonesia tetap menang dihatiku tentunya. Dengan beragam budaya dan kekayaan yang dimilikinya.

Tetapi mungkin kita bisa sedikit berkaca, tentang budaya antre dan adab dalam menggunakan fasilitas umum. Atau bahkan kita bisa menirunya? Karena tidak ada salahnya meniru sesuatu kebiasaan baik, bukan?

Saat itu aku sedang menunggu bus untuk berwisata ke destinasi selanjutnya. Dengan polosnya aku mengantre tepat didepan halte. Paling depan. Jadi ketika bus berhenti nanti, aku bisa langsung masuk, pikirku.

Kurasakan bulu kudukku merinding. Rasanya banyak pasang mata yang sedang menatapku dari belakang. Saat ku menoleh, benar saja, beberapa pasang mata sedang menatapku, antrean sudah mengular disebelahku. Aku berdiri diluar jalur antre. Langsung kusapu pandangan, aku menemukan kedua temanku, mereka melambai dan berbisik diujung antrean dibelakang sana "Heh.. sini!"

Malu.

Aku langsung meminta maaf sambil membungkuk dan melipir kebelakang bersama mereka. Menyambung menjadi ular disana.

Saat bus datang pun suasana sangat kondusif. Yang masuk terlebih dahulu adalah yang berdiri paling depan, lalu berurutan hingga kursi didalam habis diduduki, dan pintu bus ditutup. Apabila ada orang yang tidak kebagian tempat dan masih berdiri mengantre, ya artinya mereka harus menunggu bus selanjutnya.

Tidak ada desak-desakan, tidak ada serobot-serobotan seperti di Stasiun Manggarai, atau Halte Transjakarta Kebayoran.

Akhirnya aku berhasi menaiki bus setelah menunggu bus kedua. Aku duduk pada kursi deretan kedua paling belakang. Saat ku edarkan pandangan menikmati perjalanan, kebingungan kembali datang mengusik.

Ada sebagian penumpang yang berdiri, padahal kursi deretan paling depan masih kosong melompong.

Bus yang kunaiki berhenti di halte selanjutnya, beberapa anak muda dan seorang nenek tua memasuki bus. Lagi lagi beberapa anak muda itu berdiri, padahal deretan bangku bus paling depan masih kosong. Tapi seorang nenek tua itu duduk, pada salah satu kursi deretan paling depan tersebut.

Alisku berkerut, langsung kuperhatikan beberapa tulisan yang tertera pada deretan bangku itu. Priority Seat. Dan dilengkapi dengan gambar orang tua, ibu hamil, ibu membawa anak dan penyandang disabilitas.

Aku langsung tercenung. Kursi prioritas?. Aku kembali tersenyum, kagum.

Penumpang disana lebih memilih untuk berdiri karena mereka sadar bahwa mereka bukanlah individu yang seharusnya menduduki kursi tersebut. Mereka bukan orang tua, bukan ibu hamil, bukan ibu dengan anak dan bukan penyandang disabilitas. Mereka lebih memilih untuk berdiri, dan membiarkan bangku itu kosong.

Dimana seringnya masih kerap aku menemukan orang yang tertidur dibangku kereta krl, tapi enggan bangun ketika datang seseorang yang lebih membutuhkan kursi tersebut.

Sekali lagi aku tidak bermaksud membandingkan. Tetapi mungkin kita bisa berkaca, terutama tentang budaya mengantre dan adab menggunakan fasilitas umum dengan baik dari mereka.

Mungkin butuh waktu yang lama untuk mengubah suatu kebiasaan. Tetapi bukan berarti tidak mungkin, bukan?
Ayo mulai dari diri kita sendiri, lalu tularkan kebiasaan baik pada orang-orang terdekat dan anak cucu kita kelak.




Regards, cicicipta.

#KataHatiChallenge
#KataHatiProduction

Sunday, January 13, 2019

Halal is My Way


Assalamu'alaikum 

Setelah pulang jalan-jalan dari salah satu negara yang berpenduduk minoritas muslim beberapa waktu lalu, saya jadi bersyukur karena selama ini hidup dan besar di Indonesia. Kenapa bisa gitu? Sederhana saja, karena saya bisa bebaaaas memilih makanan tanpa takut akan statusnya. Lho kok status? Iya, status halal dan haramnya.

Selama 5 hari diluar sana celingak-celinguk cari makanan yang punya logo halal susahnya minta ampun. Udah kayak nyari jerami diantara tumpukan jarum. Sakiiiit banget, cuy. Setelah pulang ke Indonesia, Aahhh a kind of Baiti Jannati. Sate madura, nasi padang, martabak bangka~ oh Indonesia ku, jaya negeriku, merah putih benderanya, halal-halal makananya.

Eits tapi nggak semudah itu, Ferguso.
Rabu lalu, 26 Desember 2018 saya punya kesempatan emas untuk ikut acara End Year Meet Up di Walking Drums - Jakarta Selatan secara gratisss berkat Indonesian Hijab Blogger. Dan setelah kurang lebih satu setengah jam diberi gemblengan oleh Teteh Khadija Peggy Melati Sukma dan Kak Devita (@uuwnik), rasanya saya langsung patah hati. Bukan patah hati karena dikhianati, tetapi patah hati karena sadar bahwa selama ini saya nggak pernah berhati-hati.

Karena halal, bukan hanya apa yang kita konsumsi saja, bahkan lebih luas lagi maknanya.

Deg

Fikiran saya langsung diremas-remas dan dipaksa mengingat-ingat hal yang sering luput dari perhatian, yaitu “logo halal”. Restoran yang sering saya datengin? Kosmetik yang sering saya pakai? Skincare??? saya langsung pusing, serius.

Alih-alih tinggal di Indonesia dengan masyarakat mayoritas umat muslim, beli ini itu asal comot saja, nggak liatin dulu itu ada logo halalnya atau enggak. Makan dimana-mana juga asal embat aja, yang penting no b2 dan no alkohol. Padahal nggak mengandung b2 dan alkohol pun belum menjamin kehalalan suatu makanan. Karena salah dalam tata cara pemotongan hewan pun, bisa menjadikan makanan tersebut tidak halal. Jadi, negara dengan mayoritas beragama Islam, belum menjamin segalanya jadi halal. Oke, saya galau lagi pemirsah.

"Wah ternyata Istiqomah itu nggak gampang ya, Rosalinda?"
 "Ya iyalah nggak gampang, makanya hadiahnya surga. Kalau gampang mah hadiahnya kipas angin, Ferguso"

Selain Halal, ada juga perkara Haram dan Syuhbat. Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan, Haram adalah sesuatu yang dilarang dan Syuhbat ada diantara keduanya yang belum diketahui.

Apa yang dihalalkan tidak bisa diharamkan, begitu juga sebaliknya. Dan tinggalkanlah syuhbat, karena ada potensi haram didalamnya. Walaupun ada potensi halalnya, namun hanya boleh dikonsumsi ketika sudah halal.

Karena mencegah lebih baik, kan? Lebih baik meninggalkan syuhbat demi mencari ridha Allah Subhanallahu Wata’ala.

Memang benar, sesuatu yang haram juga ciptaan Allah. Namun kita sebagai manusia, sebagai makhluk yang paling sempurna, kita diberikan akal untuk berfikir, untuk mencari petunjuk. Maka kejarlah petunjuk itu, untuk mencari sesuatu kehalalan. Semata demi mengejar ridha Allah, dan salah satu usaha untuk menjemput hidayah Allah.

Haram itu langkah setan, dan setan adalah musuh yang nyata bagimu.

Ditengah gemblengan Teh Khadija, salah satu peserta tiba tiba mengangkat tangan dan bertanya,

Tapi, nggak apa-apa kan makan makanan yang belum ada label halal MUI nya? Kan yang penting kan dikomposisinya nggak ada b2 dan alkohol?

Lho? darimana dirimu bisa menjamin jika hanya dengan melihat komposisi saja? Cara masaknya, bagaimana? Alat masaknya? Tempat dia mengolahnya? Cara dia membunuh hewan tersebut sebelum menjadi makanan? Dan lainya. Ada banyak kemungkinan kemungkinan yang membuat makanan tersebut menjadi haram walaupun dengan komposisi yang halal. Dan mengkonsumsi makanan, minuman, kosmetik, skincare dan lainya yang memiliki label halal MUI sebenarnya telah menyelamatkan kita, dan memudahkan kita. InsyaAllah, itu adalah salah satu bentuk ikhtiar kita untuk semakin taat kepada Allah.

Adalah suatu nasihat yang membuat saya benar-benar nyeri waktu itu-

Keberkahan dan petunjuk terhalang oleh sesuatu yang haram

Naudzubillah.. ngeri banget nggak, sih? udah dosa, berkah dan petunjuk juga jadi kehalang, duh jadi double-double inimah ruginya :(

Terus bagaimana cara kita membenahi diri?
  • Yang pastinya, meninggalkan segala sesuatu yang haram dan syuhbat.
  • Perbanyak ibadah, karena ibadah menjauhkan dari sesuatu yang haram dan mendekatkan diri pada iman
  • Sedekah dan zakat juga membersihkan yang haram
  • Jangan lupa berpuasa untuk membersihkan hati
  • Dan yang terpenting adalah sholat, untuk membersihkan perbuatan keji dan mungkar.

Karena cara kita bersyukur itu bukan hanya dengan lisan yang mengucap “Alhamdulillah” tetapi juga menunjukannya dengan perilaku taat kepada Allah dan makin percaya pada Allah.

Tema kajian End Year Meet Up ini benar-benar berharga. Saya belajar banyak. Awalnya saya galau berat, karena setelah pulang dari kajian tersebut saya banyak menemukan perkara syuhbat pada skincare yang selama ini saya pakai. Sayang sih, kok rasanya mubazir mau dibuang. Tapi balik lagi ke niat kita, dari segi manapun, lebih baik merelakan sedikit skincare yang nggak seberapa dan makin disayang Allah.

Jadi, balik ke pertanyaan awal, “Mengapa Harus Halal?”

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu"
(Al-Baqarah : 168)

"Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."
(An-Nahl : 114 )

"Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya."
(Al-Maidah : 88 )

Karena Halal adalah perintah Allah ^^




Alhamdulillah, ilmu baru, teman baru 


Regards, cicicipta.

Episode

Jadi, ini adalah tentang sebuah episode. Salah satu episode dalam kehidupan yang telah akhirnya kuselesaikan.

Yudisium, 25 November 2018. Suatu pernyataan lulus secara sah. Seperti hal nya ucap akad, aku sudah sah menjadi alumni dari institut tempatku menimba ilmu.

Dimana setelahnya ketika aku pulang, aku sudah tidak menemukan mbah lagi. kondisi mbah menurun, dan dilarikan kerumah sakit. Keesokan harinya cuaca cerah, namun tak secerah hatiku. Hari itu mbah tidak pulang kerumah untuk selama-lamanya. Mbah pergi meninggalkan aku, untuk selama-lamanya.

Satu episode dalam hidupku yang terselesaikan, dan episode terakhir dari seseorang yang sangat kucintai. Yang berperan penuh dalam hidupku, yang tak pernah meninggalkan aku sekalipun. Dan sekarang perpisahan itu benar-benar ada, dan nyata.

Sebenarnya aku tau, bahwa semua yang hidup pasti akan mati, aku tahu betul itu. Tapi yang membuatku tersentak begitu hebat adalah, kenyataan bahwa kematian benar-benar bisa memutus kebahagiaan, sekejab saja, lalu rasanya seperti nalangsa setengah mati.

Sebulan setelahnya, 25 Oktober 2018 aku memakai toga. Inilah salah satu doa yang selalu dipanjatkan mbah dalam setiap sholatnya. Aku tahu itu, aku sering mencuri dengar ketika ia berdoa. Ia berdoa agar aku menjadi anak yang saleha, pintar, dan sukses. Serta kelak memiliki seorang suami soleh yang bertanggung jawab.

Untuk sebuah episode dalam hidupku, doa mu telah terkabul, Mbah. Kau tahu itu?

Meski dalam foto wisuda ini kau tidak tertera dalam bingkai,
Semesta pun juga tahu, kisahku denganmu selalu.

Salah satu episode bertoga itu memang telah usai. Tetapi episode lain masih menanti didepan sana, dan perjuangan belum berakhir.

Akan ku ingat selalu pesanmu, bahwa dunia hanyalah sementara, dan kematian adalah satu satunya kepastian.

Terimakasih- yang mungkin tidak ada habisnya.


Regards, cicicipta.


Happy Apple