Friday, March 4, 2016

The last word, an early story (Episode 3)


Previous Episode : Episode 1 | Episode 2

Nama itu, Alisa Lunara

Sekali lagi, nama itu menyelinap memasuki rongga di dada
Mengingatnya, tak pernah sekalipun ia kehendaki sebelumnya
Mengumamkan namanya, namun menyapa saja ia tak kuasa
Ingin, sangat ingin..
Bagaimana kabarnya? sedang apa?
Rasa itu terus menghantui jiwa.
Namun apa daya, Senyum itu bagai detik yang mematikan, berhenti, hilang, terhisab, sangat..menyejukkan.
Saat Faris tersadar, senyum itu telah hilang dari indera penglihatanya.
Detik berikutnya, kata itu mengiang lagi

"Kau sangatlah berarti"

Faris, kau sudah gila.


--------------


MASIH sepagi ini, tapi Ara sudah disibukkan dengan laporan kejar tayang. Kedua matanya sudah dipaksa terbuka dua jam sebelumnya, bahkan matahari saja masih memeluk awan dengan manja, namun ia sudah harus bersentuhan dengan udara dingin yang senantiasa menerpa. bayangkan saja, udara Bogor dimusim dingin pada pagi hari? jangan bercanda.

Sesampainya pada tempat yang dituliskan dalam kertas kecil yang ia sobek sembarangan tadi, ia menuruni kendaraan roda empatnya, disana sudah sesak oleh ribuan pasang mata, tak ada celah untuk mengendarainya lebih dekat, hanya ada satu-satunya cara.

"Nikori!"

Senyum Ara mengembang, ia mempercepat langkah kakinya, sambil sesekali memeluk diri melindunginya dari hawa dingin yang mengepung tubuh mungilnya, rambut hitam legam sebahu yang masih mampu jatuh dengan indah meski tidak ia tata, kulit putih langsat yang membuat pipinya memerah jika terkena sinar matahari, tapi kini kulit itu terlihat amat pucat, mungkin akibat dingin? sepertinya begitu.

"Ara!"

Ara mengatur nafasnya yang tersenggal, membenarkan syal juga jaket tebal berwarna pink pastel yang begitu manis. Tak boleh lupa, kertas-kertas dalam map yang selalu ia bawa dalam tas jinjing yang senantiasa menggantung di bahunya, lengkap dengan alat perekam, pena juga beberapa carik kertas kosong. Kosong? tentu saja, bagaimana Ara bisa menyiapkan sebelumnya? bahkan belum sempat ia bernafas lega, kedua kaki itu langsung lari seribu langkah setelah ia menutup telfon genggamnya beberapa menit yang lalu.

"Gimana perkembanganya? aku ketinggalan sampai mana?"

Nicole tersenyum jahil, "Ah.. bukannya sekarang kita udah jadi saingan? kamu masih aja nganggep aku temen, cari tau aja sendiri!"

Ara mendelik kesal, "Nikori!"

"Ssst! namaku Nicole! Nicole! jangan manggil aku pake nama kecil jaman SD gitu kek!"

"Iya Iya maaf.. abisnya kam-"

"Udah iya iya, aku bercanda"

Ara mengamati keadaan sekitar, hiruk pikuk suara rakyat memenuhi haluan kota, didepan gedung kantor megah dengan puluhan lantai yang sudah disulap menjadi lautan manusia. Satu persatu dari mereka membawa secarik kertas yang bahkan lebih besar dibanding bendera, bertuliskan suara hati yang terasa sesak didada, kemarahan yang tak bisa dibendung lagi, pemecatan tiada henti, pergantian karyawan yang tak manusiawi, katanya. Mereka geram mencekam, mengamuk, meminta sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab. "Naikan Gaji" "Hentikan PHK" "Penuhi Hak Hak Kami" begitulah kira kira.

Berita Hangat, santapan masyarakat.

Tak mungkin Ara dan Nicole tidak ada disana, mengejar suasana , mengejar berita, jika tidak cepat, ia bisa tamat.

Ara merogoh tas jinjingnya, mengambil beberapa carik kertas kosong disana, menyiapkan pena, dan mulai menulis kronologinya, apapun kejadian yang ia tangkap dikedua manik matanya ia tulis sedemikian rupa, seperti sketsa, masih acak acakan namun tak mengapa, yang terpenting adalah menuliskan sebanyak banyaknya, fakta aktual dan terdepan, baru berikutnya ia susun secantik mungkin, untuk dikirim ke redaksi tempatnya berkerja.

Nicole mengintip, "Kok kosong sih, Ra?"

Ara membuka penutup pulpen dengan mulutnya, karena kedua tanganya benar-benar masuk sibuk bekerja, pena pada jemarinya mulai menari dengan pena.

"Soalnya aku buru-buru banget tadi, dengar kabar begini langsung aja aku pergi, mana sempat nyiapin pertanyaan buat narasumber?"

"Ah.. udah biasa" Nicole mengangguk, "dari SD emang gak pernah berubah"

"Maksudnya?!"

"Yap, Ara yang selalu selebor, buru-buru, ceroboh, dan yang penting adalah satu ini!"

Nicole meraih kertas terlipat menyerupai burung bangau yang menyembul dari dalam tas jinjingnya

"Ini dia!"

Nicole mengangkat tinggi-tinggi kertas lipat berbentuk burung bangau itu

"Lipatan kertas!"

"Hei! jangan dibuka!" kedua bola mata coklat Ara membesar, apalagi saat ia lihat sahabatnya ini mulai membuka kertas lipatan berbentuk burung bangau tersebut.

Ara bisa bernafas lega ketika ia bisa mendapatkan kembali burung kertas miliknya sebelum Nicole sukses membukanya.

"Sepertinya itu hobi baru kamu, ya?"

"Hobi baru apanya?!" Ara memasukan burung kertas itu dengan kasar kedalam tas, mendumal kesal atas kejahilan teman lama nya ini.

"kayaknya dulu kamu cuma hobi ngelipet-lipet kertas aja, kayaknya sekarang kamu jadi suka nyembunyiin tulisan-tulisan di dalemnya"

Angin dingin berhembus lagi, hobi baru.. kebiasaan baru.. Nicole benar juga. tak pernah ia lakukan sebelumnya, tak pernah ia fikirkan sebelumnya, untuk menulis bait-bait indah dikala malam, untuk menyusun huruf-huruf yang sebelumnya hanyalah huruf, namun kini huruf huruf itu menari, berpetualang, menjelajah dunia, menapaki kata-kata indah.. hanya dengan mengingat namanya..

Mengingat namanya..

Fa...

"Itu direkturnya sudah keluar! ayo cepet kita liput!, pokoknya abis ini kita harus minum teh di kedai depan kantor kamu, ya!"

Tak bisa menolak, tak mau ketinggalan, Ara mengikuti jejak Nicole memburu berita. Meskipun kini mereka bersaing dalam hal karir, Ara adalah Wartawati yang berada dalam naungan penerbit yang berbeda dengan Nicole.. namun tetap saja, mereka adalah sahabat, yang bertahun-tahun memiliki satu cita-cita yang sama.


--------------


Ara dan Nicole sibuk dengan laptopnya masing-masing merapihkan berita yang baru saja mereka liput, naskah itu akan langsung mereka kirimkan dalam deadline yang begitu mengikat. Sangat cepat. Dua cangkir teh yang berada di hadapan mereka pun belum sempat mereka sesap, namun jemari itu masih terus merayap-rayap, menekan tuts-tuts ribuan huruf, merangkai kalimat, merajut paragraf.

Selang beberapa lama, mereka berdua meregangkan badan, usai sudah, terbentuklah sebuah wacana, berita terhangat pagi ini, yang akan muncul di media massa cetak nanti. Senyum terkembang di antara keduanya. Sangat aneh bukan? dua wartawati dalam kubu yang berbeda.. namun bekerja secara bersama?. Hanya Ara dan Nicole yang seperti ini.

Nicole terhenyak, ia hampir saja tersedak. Gadis itu terbatuk sesaat, melihat suatu objek bergerak di seberang sana..

"Kamu gak apa apa?"

Nicole menggeleng, ia langsung meminum beberapa teguk teh lagi untuk mendamaikan tenggorokanya.

"Ara, kamu tau nggak, apa yang bikin aku iri sama kamu?"

Kini Ara makin tidak mengerti, gelengan kepala mewarnai tanda tanya yang tersirat di mata cokelatnya.

"Itu tuh"

gerakan Nicole mengisyaratkan agar sahabatnya ini menoleh kebelakang

"Aku iri sama kamu, bisa satu kantor sama wartawan itu.."

Deg

Partikel.. Ara merasakan ada partikel disana. Bagai kilau berlian yang tersebar di udara, dia indah, dan bersinar. Berpendar dalam senyum, menenangkan.

"Aku kenal sama dia, aku pernah ngeliput berita bareng dia, dia lugas, dan pertayaan yang dia berikan selalu jelas dan padat.. apalagi mukanya.. Ganteng banget, Ra!"

Bising.

Suara Nicole yang menggebu-gebu ini terasa bising ditelinga, selebih saat ia mendeskripsikan.... "dia". Dia yang selama ini selalu hadir dalam imaji, dia yang selalu Ara tuang dalam bait puisi.


"Fauzan!"


Nafas Ara terhenti di tempat, tak diduga-duga akan tindakan sahabatnya ini.

Ini gawat.. Ara merasakan darahnya sudah berhenti mengalir, bersamaan dengan kedua pemuda diseberang sana yang segera menoleh ke arahnya..

Fauzan dan Fauzan...


"Sini yuk nge-teh bareng!"


Nicole..
kamu nggak akan pernah sadar, kalau tindakan kamu sekarang sedang membunuh seseorang..

By: Suciati Cipta Sejati



Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).

Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya. 


Next Episode : Episode 4

The last word, an early story (Episode 2)


Previous Episode : Episode 1

Berarti… berarti… ditilik dari kalimatnya berarti sama maknanya dengan berharga, kan?

"Tanpa dirimu, bagiku tak ada hal lain yang lebih berarti."

"Begitupun aku padamu"

Pemuda itu tersenyum, matanya tak lepas dari bait-bait puisi yang tertoreh di kertas. Bibirnya menggumamkan bait-bait puisi tersebut berulang-ulang. Matanya tanpa lelah menelusuri baris-baris puisi.

Ia membolak balik kertas bertulis tersebut, kertas buram penuh terisi coretan hitungan. Dilihat dari segi esentrik kertas lipat tersebut, tiada lain dan tiada bukan, pastilah hasil jemari lentik milik Ara.

Pemuda itu membuka map kertas yang ia pegang, kertas berharga dan berkas bertuliskan nama Faris memenuhi map tersebut. Di salah satu sudut map miliknya, terkumpul kertas buram corat coret lainnya. Tapi semua kertas itu sama, bertuliskan puisi manis teruntuk Fauzan, dibentuk dengan bentuk kertas yang menawan.

Faris kembali tersenyum. Hanya ia dan Tuhan saja yang tahu, puisi itu adalah koleksi kertas yang sangat berharga bagi Faris. Entah kenapa kertas-kertas itu begitu berarti baginya. Bukan hanya puisi itu memiliki arti yang mendalam. Lipatan kertas yang dibentuk juga sangat tegas dan teratur, yang berarti Ara melipat kertas-kertas itu dengan sepenuh hati.

Dan tanpa terasa, sepertinya Faris mulai jatuh hati kepada Aya. Meskipun mereka tak pernah saling berbicara, bukan berarti ia tidak boleh memendam dari jauh, kan?

DOR!

Faris terkaget.

"Wajahmu konyol sekali sewaktu kaget!" seorang pemuda sebaya Faris tertawa puas.

"Kau umur berapa sih? Kekanakan sekali!"

"Maaf deh. Habis-"

"FAUZAN!"

Candaan mereka terhenti, seseorang memanggil.

"Ya!" anehnya, baik Faris dan Fauzan sama-sama menanggapi panggilan untuk Fauzan tersebut.

"Maaf, maksudku Fauzan Rahmat!" koreksi si pemanggil.

"Itu berarti aku," Fauzan Rahmat berlari menyongsong si pemanggil.

Faris terdiam, memandang sahabatnya itu menghilang dari jarak pandang. Tak lama angin kencang menerpa, menerbangkan beberapa helai kertas milik Faris. Ahmad Fauzan Faris tertulis di kolom nama.


By : Nadita



Note:
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).

Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya. 



Next Episode : Episode 3

The last word, an early story (Episode 1)



Ara suka melipat kertas. Kapanpun dan dimanapun dia berada tidak ada hari tanpa melipat-lipat. Melipat burung bangau, melipat ikan, perahu, pesawat, semua bisa.

Ara senang melakukannya. Hingga setiap orang rasanya sudah tahu, saat mereka menemukan kertas coretan bekas menghitung jawaban ujian yang dilipat menjadi suatu bentuk, itu pasti hasil karya tangan terampil Ara. Atau hasil karya tak ada kerjaannya Ara?

Ara senang melakukannya. Terlebih saat dia melakukannya setiap hari Minggu malam. Melipat kertas yang isinya telah dia lampirkan tulisannya yang dia buat sepuitis mungkin. Dengan senyum berbunga-bunga, dengan mata yang berbinar-binar.

-

-

-

Seorang laki-laki pandangannya teralihkan saat ada pesawat kertas mendarat dengan pelan ke dekat sepatunya yang berwarna cokelat. Sedetik kemudian ia tersenyum. Lalu mengambil pesawat tersebut dan memperhatikannya.

Open me.

Mengikuti perintah yang tertulis pada sayap pesawat, ia membuka lipatan itu dengan perlahan.

Dear Fauzan,

Semesta pasti sedang menertawakan ini

Padahal kamu bukan pangeran dalam mimpi

Pun bukan seperti mentari yang bersinar setiap hari

Tapi hanya dengan bersamamu, bagiku semua hal tidak lebih berarti.


By: Enie Hendyaningsih



Note: 
Ini adalah challenge group menulis One Week One Paper (OWOP).
Temanya adalah "The last word, an early story", dimana member lain yang mendapatkan urutan selanjutnya, meneruskan cerita menggunakan kata terakhir dari cerita sebelumnya.





Next Episode : Episode 2
Happy Apple